Deskripsi tentang 3 Suku di Indonesia

 Profil Suku-suku (Trunyan di bali, amungme di papua, Rejang di bengkulu)
A.   Suku Trunyan Bali


 1. Asal usul
            Trunyan merupakan penduduk asli Bali di kawasan kepundan Gunung Batur purba yang menganut Agama Hindu-Bali dan tidak mendapatkan pengaruh Agama Hindu yang berasal dari Jawa, tepatnya Hindu Majapahit. Desa Trunyan sendiri terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupten Bangli, Provinsi Bali. Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan.         Dhananjaya seorang antropolog era tahun 1980an melakukan penelitian intensif pada masyarakat Trunyan mengatakan bahwa Trunyan telah banyak dipengaruhi oleh Agama Hindu Bali Daratan yang dipayungi oleh lembaga PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia), yang melakukan penetrasi budaya Bali Daraan pada Bali mula-mula. Walaupun demikian Trunyan masih erat dalam mempertahankan keotentikan budayanya. Suku Trunyan mengakui dirinya sebagai orang Bali Turunan, karena mereka mempercayai bahwa leluhur mereka "turun" dari langit ke bumi Trunyan.
            Jadi nama Bali Turunan berarti orang Bali yang turun langsung dari langit ke tanah Bali. Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu, yang mereka panggil dengan sebutan Bali Suku, karena orang Bali Suku bukan penduduk asli pulau Bali, melainkan pendatang dari pulau Jawa yang masuk ke pulau Bali dengan suku (kaki) atau berjalan kaki.
2. Mitologi
            mengenai asal usul penduduk Trunyan, yang menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari Langit yang diusir dari kahyangan, untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib oleh matahari (Sang Surya) sehingga mengandung, Setelah tiba waktunya Sang Dewi melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya adalah anak banci dan seorang lagi anak perempuan.


            Setelah kejadian ini Sang Dewi kemudian kembali ke Kahyangan. Putri dewi tersebut kemudian kawin dengan seorang putra Raja Jawa (Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik oleh bau-bauan harum yang dipancarkan oleh sebatang taru (pohon) menyan yang tumbuh di Trunyan. Dari kedua insan dan dewi ini, kemadian diturunkan penduduk Trunyan yang sekarang ini. Kejadian mengenai adanya seorang Dewi turun ke bumi ini, yaitu turun hyang, dan adanya pohon taro menyan yang memancarkan bau-bauan wangi sehingga dapat menarik kedatangan putra Dalem Solo, menimbulkan dua macam keterangan mengenai asal usul nama Trunyan. Keterangan yang per-tama mengatakan Trunyan berasal dari kata-kata turun dan hyang yang barasimilasi menjadi sata kata; dan yang kedua mengatakan berasal dari kata-kata taro dan menyan. Putra Dalem Solo dengan istrinya (putri Dewi) yang merupakan cakal bakal desa Trunyan, kemudian setelah meninggal diangkat menjadi Dewa Tertinggi orang Trunyan dengan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
3, Sistem kemasyarakatan
            Masyarakat Trunyan, seperti masyarakat lainnya juga mempunyai kepercayaan tentang religi mereka. Adapun Religi orang Trunyan adalah suatu Variant, atau satu versi yang berbeda dari agama Hindu-Bali, yang dapat disebut sebagai Agama Hindu-Bali Trunyan, dan selanjutnya kepercayaan mereka yang selanjutnya merupakan sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.  Agama Hindu Trunyan dapat disebut sebagai Variant (versi berbeda) dari Agama Hindu-Bali, Karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan Agama Hindu-Bali, masih lebih banyak berlandaskan kepada kepercayaan Trunyan asli. Apa yang disebut kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya dialam sekeliling tempat tinggalnya, sehingga. Perlu juga dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan disekelilingnya selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa. Walaupun dari luar Religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk Agama Hindu, Karena sudah mempergunakan Liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu-Bali.
 4. Kebudayaan


            Pementasan Burung Bentuk Trunyan memiliki Tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang di pentaskan terkecuali saat Odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Pada umumnya Barong di Bali itu Bentuknya Wujud binatang seperti macan, singa, gajah, naga, maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
            Tokoh pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), di pentaskan pada siang hari upacara odalan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan Barong ini dimulai dengan penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka mengelilingi penyengker pura selama tiga kali sambal melambaikan semesti dengan suara melengking kepada para penonton, sehingga membuta para penonton, takut. Kemudian doa-doa dan sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudian keempatnya juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar di area perkebunan untuk kesuburan.
5. Ritual
Ø  Upacara Kelahiran
            Menurut kepercayaan orang Trunyan, pembuahan anak adalah sebagai akibat bersatunya zat semara (darah putih) perempuan dengan buiken (bibit) laki-laki. Keguguran dapat terjadi sebagai akibat dimakannya janin oleh buta kala. Itulah sebabnya maka masa­masa sekitar kelahiran dianggap penuh bahaya. Untuk menghin­dari bahaya tersebut, orang tua si bayi harus memperhatikan beberapa tabu-tabu. Larangan ini terutama berlaku pada perempuan yang sedang mengandung.




Ø  Upacara Perkawinan
  Perkawinan di Trunyan lebih ditujukan kepada perkawinan endogami dadia (klen kecil yang virilokal) yaitu menurut ideal orang Trunyan, warga suatu dadia sebaiknya mencari jodoh di kalangan anggota dadianya sendiri. Biarpun demikian endogami dadia ini ada batasnya juga, karena tidak boleh terjadi antara kerabat yang terlalu dekat. Artinya paling sedikit harus di antara saudara sepupu derajat kedua.
Perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama hanya boleh terjadi di antara saudara-saudara sepupu, yang merupakan anak-anak dari dua bersaudara sekan­dung yang berlainan jenis kelamin (cross cousin), tetapi tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara-saudara sepupu yang ayahnya bersaudara sekandung (paternal parallel cousin), karena dianggap sebagai kawin sumbang.
Usia untuk kawin bagi orang laki-laki Trunyan adalah di sekitar 25 tahun, dan bagi perempuan 20 tahun, tetapi kini ada kecenderungan untuk dilakukan dalam usia yang lebih muda di kalangan generasi yang lebih muda. Sampai pada hari ini, persetubuhan sebelum diadakan upacara perkawinan adat tidak dilarang oleh adat, sehingga banyak dipraktekan oleh para remaja di sana. Perkawinan di Trunyan dapat dimulai melalui tiga cara, yakni dengan cara meminang (memadik); dengan cara bersama-sama melarikan diri (ngerorot); atau dengan cara menculik seorang gadis yang tidak rela dikawin (melegandang).
Upacara-upacara perkawinan empat tahap ini adalah: Mebie­kaon, yang dilakukan di pelataran kompleks perumahan keluarga luas (karang) kemanten laki-laki, dengan tujuan untuk me­nyucikan kedua merpati ini setelah melakukan hubungan sex; Meperagat/Mekala-kala, yang diadakan di pantai danau Batur, yang terletak di muka pekarangan rumah keluarga luas mempelai laki-laki, dengan maksud untuk membebaskan kedua mempelai dari pengaruh buruk para buta kala; Bakti Pesaren, yang diada­kan di muka pintu gerbang kuil Ratu Sakti Pancering Jagat, dengan maksud untuk memberitahu kepada dewa tertinggi mereka, bahwa perkawinan telah berlangsung, dan upacara per­nikahan tahap-tahap terakhir mepekandal akan segera dilaksana­kan; Mepekandal, adalah upacara yang dilakukan di pekarangan kuil bagian luar (jaban), dengan maksud untuk mengesahkan keanggotaan kedua mempelai sebagai anggota desa adat (krama desa).
Ø  Upacara Kematian dan Pemakaman Suku Trunyan
  
            Upacara kematian di Desa Trunyan memang sedikit berbeda dengan daerah-daerah pada umumnnya yang terdapat di Bali. Mayat diletakkan diatas tanah yang arealnya sudah dibatasi dan di areal tersebut terdapat sebuah pohon besar yang seakan-akan menyegel aroma mayat agar tak menentuh Indra. Pohon yang dimaksud adalah pohon taru menyan. Yang mana bahwa itulah cikal bakal nama Desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:


1.      Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah Mepasah. Orang-orang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2.      Dikubur/ dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal. Desa ini juga memiliki tiga cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara dengan upacara Pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut:
§  Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya. Tempat pemakamannya disebut “sema muda”. Untuk jarag diperkirakan 200 meter dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi mayat akan dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaaan perlakuan tersebut. Ini hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Trunyan.
§  Untuk mereka yang meninggal Karena suatu yang tidak wajar seperti, kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “sema bantas’’ yang terletak di perbatasan Desa Trunyan dann Desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
§  Untuk mereka yang meninggal wajar (normal) dalam artian meninggal Karena faktor usia (bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan dipemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih) kemudian diletakkan dibawah pohon Taru Menyan. Mayat akan diletakkan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10-20 cm kemudian di pageri. Tujuan dileakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidak bergeser mengingat keadaan tanah yang datar. Di informasikan bahwa batasan mayat yang berada di bawah pohon Taru hanyalah segelas. Masyarakat setempat mengatakan jika mayat melebihi sebelas maka mayat akan sedikit berbau (terkadang berbau dan terkadang tidak).
B. Suku Amungme papua
1.      Asal-usul
                   




Suku Amungme merupakan suku bangsa yang berada di bagian pegunungan tengah kabupaten Mimika provinsi papua. Definisi dari suku Amungme ada dua suku kata yakni : Amung artinya Utama dan Mee artinyaManusia (orang pertama )arti ini sangat luas, suku lain juga mereka menganggap saya orang pertama namun suku ini juga membandingkan dengan sejarah turun – temurun dari lembah baliem dengan nama kurima (tempat orang kumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honay dari alang-alang,dan dasar bahasa yang ada di lembah baliem tempat keluarnya suku bangsa dari pegunungan tengah adalah bahasa Amungme (neungkikal) yang artinya bahasa utuh.

2.  Bahasa
    Bahasa suku Bangsa Amungme adalah (Amungkal) berarti bahasa Amungme  dari suku ini beragam bahasa seperti Aro-a-kal jenis bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal sebagai jenis bahasa simbol yang hanya diucapkan sewaktu berada di wilayah tertentu yang dianggap keramat.serta di bagian pembatasan memiliki dua bahasa yang berbeda seperti bahasa moni,damal,amungme,kamoro,dan nduga,dari suku ini saling mengenal marga dan orang – orang ternama seperti menagawan , kalwang, dewan adat , wem-wang, dan wem-mum,(kepala perang) untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

3.  Mitologi
    Menurut mitos yang mereka percayai, pada zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat berbagai jenis tanaman dan binatang. Alkisah pada suatu ketika orang-orang yang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan di luar gua. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membuka pintu gua, kecuali seorang tua, dengan membaca mantra-mantra tertentu. Orang tua itu dianggap sebagai kepala keluarga dari kelompok mereka. Ketika waktunya sudah tepat, si orang tua itu mencoba membuka pintu gua dengan memukul-mukul tongkatnya sambil membaca mantra. Akan tetapi, usahanya tidak berhasil walau sudah dicoba beberapa kali. Sampai akhirnya, si orang tua meminta bantuan kepada seorang gadis yang belum pernah mendapat haid untuk memukul tongkat ke dinding gua sambil menirukan mantra dari si orang tua. Setelah itu, barulah pintu gua bisa terbuka.
    Ketika pintu berhasil dibuka, keadaan di luar gua masih belum memungkinkan karena permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi lingkungan di sekitar gua, diutuslah seekor burung nuri dan mereka menanti burung itu kembali. Akan tetapi, burung nuri itu tidak kembali lagi. Kemudian, mereka mengutus seekor burung murai atau negelarki. Saat burung itu kembali, di dalam paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal itu menandakan bumi telah cukup kering. Keesokan harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan mulai berjalan searah matahari, arah ke barat.
Selama perjalanan, orang-orang mulai menebarkan bibit-bibit tanaman serta melepaskan binatang-binatang. Lalu, sampailah mereka di gunung Me-arranggumabugin, yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan.
Rombongan pertama yang keluar dari gua adalah orang Amungme. Mereka membuat api untuk menghangatkan badan. Setelah itu, tiba rombongan berikutnya yang berniat untuk berdiam juga, tetapi karena tempatnya tidak mencukupi, rombongan itu pun melanjutkan perjalanan. Rombongan inilah yang menjadi moyang dari suku-suku Ekagi, Moni, dan Wolani, serta suku-suku kecil lain yang berada di sebelah barat dari wilayah kesatuan hidup suku Amungme.
     Rombongan pertama lalu melanjutkan perjalanan ke arah selatan dari Gunung Perangama-Bugin. Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitarnya. Alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan menjaga alam sekitarnya. Caranya, dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika terjadi perusakan, hal itu sama saja dengan merusak diri mereka sendiri.
       Besarnya penghargaan terhadap alam diungkapkan dalam bentuk upacara pengucapan syukur atas berkah yang didapat dari alam dan jika ada ada yang merusak alam terungkap dalam perkataan bijak yang berbunyi:“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arop nap atendak, ib arop nan atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!” Artinya: “Anak-anak, mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, dan batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku akan mengawasimu! ”(Beanal, 1997).
        Suku Amungme secara tradisional mendiami wilayah hampir sepanjang Pegunungan
Jayawijaya dan terbagi dalam 66 klan. Klan-klan itu merupakan bagian dari masyarakat. Klan-klan tersebut terdiri atas Mom dan Magai. Perkawinan di antara mereka hanya bisaterlaksana jika kedua pasangan berasal dari dua klan yang berbeda. Jika pasangan berasal dari klan yang sama, perkawinan tidak bisa terlaksana. Jika terjadi pelanggaran, perkawinan itu akan dikutuk dan akan mendapat sanksi adat berupa hukuman mati yang disebut hanom.

3.      Sistem Kemasyarakatan
        Secara budaya masyarakat suku Amungme terbagi menjadi dua bagian.Dalam istilah antropologi dikenal dengan nama paroh secara garis besar keturunan Suku Bangsa Amungme Paroh pertama adalah Magai,dan paroh kedua adalah Mom.
Sistem kekerabatan terkecil dalam kebudayaan suku Amungme adalah keluarga dalam sebuah rumah biasanya menetap satu keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior. Maka anak yang jadi berkeluarga tidak dapat diizinkan bergabung dalam orang tuanya. Pola adat menetapkan bahwa setelah menikah atau kawin harus mempersiapkan diri untuk pisah dari orang tuanya. Kebiasaan suku Amungme, bagi laki-laki sesudah kawin diwajibkan membuat satu rumah yang telah siap untuk dirinya dan isterinya. Selain itu saudaranya tidak diizinkan untuk membantunya dalam membuka ladang. Setelah berpisahkan diri dari orang tuanya sang suami tersebut wajib menjalankan rumah tangganya dan perlu melakukan kegiatan-kegiatan rumah tangganya  dengan baik.
      Beberapa model pemimpin suku Amungme yang tersebut ini menyelesaikan masalah perkawinan secara budaya masyarakat suku Amungme. Misalnya perkawinan secara resmi dalam budaya suku Amugme adalah laki-laki dari parohMagai yang terdapat bertunangan dengan perempuan paroh Mom berarti beberapa model pemimpin ini harus disahkan secara budaya suku Amungme.Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan suku Amungme karena memenuhi syarat-syarat utama sesudah diselesaikan oleh beberapa pemimpin sebagaimana dijelaskan dalam prosesi berikut :Dalam proses perkawinan pada orangAmungme perkawinan ini bisa di pandang gampang-gampang sulit di laksanakan dikalangan orang suku Amungme karena yang dipertaruhkan disini adalah derajat atau harga diri dan kedua pihak marga yang bersangkutan langsung dalam proses perkawinan adat tersebut, penonjolan harta kekayaan, kemampuan memberimas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu pelunasan mas kawin dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan yaitu Eral (uang) yang sendiri adalah sistem tukar -menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme,berupa kulit bia (siput). bia (kulitBKerang) ini diperoleh dengan tukar menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku. Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral (uang) sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian utara,yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral(uang) sebagai alat pembayaran mas kawin dalam prosesperkawinan.

4.      Kebudayaan

        Salah satu keunikan suku Amungme adalah dengan adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi terpenting masyarakat suku amungme yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Persiapan awal tradisi ini masing - masing kelompok menyerahkan hewan babi sebagai persembahan, sebagain ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses ini awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa lalu mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah di persiapkan tadi dipanah terkebih dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala suku dan dilakukan secara bergantian. pada Tradisi ini ada pemandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan langsung mati, pertanda acara akan sukses dan bila tidak babi yang di panah tadi tidak langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.

5.      Ritual
Menyayikan Lagu purba Suku Amungme yang mungkin sudah tidak dipahami lagi oleh orang Amungme generasi sekarang.
Misalnya la­gu purba yang syairnya Anga­ye-angaye, No emki un­taye.
Noken, yaitu sejenis tas terbuat dari akar tumbuhan/rotan.
Tifa adalah alat musik tradisional papua.
Tidak banyak seni rupa yang dimiliki oleh suku ini, kebanyakan mereka hanya memiliki seni adat dan budaya itu sendiri, misalnya Salah satu keunikan suku Amungme adalah dengan adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi terpenting masyarakat suku amungme yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Persiapan awal tradisi ini masing - masing kelompok menyerahkan hewan babi sebagai persembahan, sebagain ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses ini awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa lalu mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah di persiapkan tadi dipanah terkebih dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala suku dan dilakukan secara bergantian. pada Tradisi ini ada pemandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan langsung mati, pertanda acara akan sukses dan bila tidak babi yang di panah tadi tidak langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.
C.   Suku Rejang Bengkulu
1.      Letak geografis
 


             Kabupaten Rejang Lebong dengan terletak pada posisi 102 31’ Lintang Selatan. Batas-batas 22’07’’- 3Bujur Timur dan 2 administratif Kabupaten Rejang Lebong adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara    : Kabupaten Lebong
Sebelah Selatan : Kabupaten Kepahiang
Sebelah Timur    :Kabupaten Musi Rawas
Sebelah Barat    : Kabupaten Bengkulu Utara

        Ibukota Kabupaten Rejang Lebong terletak di Kota Curup. Jarak Kota Curup dari beberapa kota disekitar antara lain:
Bengkulu            : 85 km, Lubuk Linggau   : 55 km
Palembang         : 484 km, Tanjung Karang : 774 km
  Secara topografi, Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah yang berbukit-bukit, terletak pada dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 100 – > 1000 m dpl. Secara umum kondisi fisik Kabupaten Rejang Lebong sebagai berikut: Kelerengan: datar sampai bergelombang, Jenis Tanah: Andosol, Regosol, Podsolik, Latasol dan Alluvial, Tekstur Tanah: sedang, lempung dan sedikit berpasir dengan pH tanah 4,5 –7,5 , Kedalaman efektif Tanah : sebagian besar terdiri atas kedalaman 60 cm hingga lebih dari 90 cm, sebagian terdapat erosi ringan dengan tingkat pengikisan 0 – 10 %. Curah hujan rata-rata 233,75 mm/bulan, dengan jumlah hari hujan rata rata 14,6 hari/bulan pada musim kemarau dan 23,2 hari/bulan pada musim penghujan. Sementara suhu normal rata-rata 17,73 0C – 30,940C dengan kelembaban nisbi rata-rata 85,5 %. Suhu udara maksimum pada tahun 2003 terjadi pada bulan Juni dan Oktober yaitu 32 derajad Celcius dan suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli yaitu 16,2 derajad Celcius.

2.      Asal-usul


        Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.
        Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.
        Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal.  Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu dintaranya:
Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape, Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang, Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
        Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.
3.      Mitologi
        Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara. Nasib mereka sungguh malang,mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah yang perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat disayangi keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan sekuat tenaga. Pada suatu malam ketika putri sedoro putih tidur ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan penuh penasaran.
"Benar, dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada pada massa ini. Pohon itu akan banyak memberi manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu, senyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari tidurnya. Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.

Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati? Jangan sampai terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah.
Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan semua mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar, bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan. Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.

Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh dari rumah kediaman mereka.

Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.

Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon pelindung.

Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.

Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke kuburan itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi meninggalkan tempat itu.

Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis. Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka. Lalu mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong dan airnya yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri sedaro putih. Tikoa tabung yang di buat dari seruas bambu
Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin. Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung bambu pun digantungkan disana. Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk di tanah rejang Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh dari pohon Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil. Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka, karena air sadapan itu akan masam jika disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras membeku dan berwarna kekuningan. Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang dimasak sampai mengental dan membeku disebut gula merah.
Keterangan :
Pohon enau atau pohon aren termasuk pohon yang banyak jasanya bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memuliakannya banyak versi lain kisah legenda yang berkembang di nusantara tentang asal mula pohon enau ini, salah satunya Putri Sedaro Putih yang berasal dari cerita rakyat suku Rejang. Daerah kediaman suku Rejang saat ini mayoritas wilayahnya masuk propinsi Bengkulu meskipun beberapa daerahnya yang lain masuk Propinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi.
Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :
1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat manisan yang lezat atau campuran kolak.
2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki, atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.
3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan se
nik (tempat meletakkan kuali atau periuk)
4.      Sistem kemasyarakatan
Masyarakat suku rejang mengenal sistem kesatuan sosial yang bersifat teritorial genealogis yang disebut mego atau marga atau bang mego. Kesatuan sosial ini berasal dari kelompok keturunan sutan sriduni, cikal bakal mereka. bang mego asal ada empat, yaitu tubai, bermani, jekalang, dan selupuak. Pada masa sekarang jumlah bang mego sudah bertambah, namun pengaruh yang asli masih kuat, mereka yang disebut tiang empat limo dengan rajo. Pada zaman dahulu merekalah yang menunjuk raja.
Pelapisan masayarakat rejang pada zaman dahulu diantaranya pertama, golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala marga. Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan yang ketiga disebut golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah para pedito (pemimpin agama) dan labgea (dukun).
5.    Kebudayaan
        Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring).

Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam). Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut. Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS. Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal. Berdamai dengan Leluhur Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.
       Suku Rejang meyakini arwah leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya. Kedurai Tebo merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo (harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung. Seperti halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan, dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak di pinggiran hutan. Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan. Kedurai atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini telah memeluk agama Islam. Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan hak adat di wilayah itu.

6.      Bahasa Rejang
   Adalah bahasa yang dituturkan oleh suku rejang bahasa ini digunakan oleh semua oarng rejang di kabupaten Rejang lebong, Kabupaten Kepahyang, dan Kabupaten Bengkulu Tengah. Bahasa Rejang sendiri terdiri atas 3 dialek, yakni Rejang dialek Curup, dialek Kepahiang, dialek Lebong. Ada beberapa daerah yang termasuk dalam wilayah kabupaten kepahiang menggunakan Rejang dialek Curup karena letak geografis yang dekat dengan kabupaten Rejang Lebong. Beberapa daerah yeng dekat secara Geografis dengan wilayah Kabupaten Lebongjuga ada yang menggunakan Rejang dialek Curup. Begitu juga sebaliknya. Perbedaan dialek juga terdapat dalam Intonasi dalam berbicara. Bahasa Rejang dialek Kepahiang terkesan keras dan kasar, dialek rejang curup terkesan halus dan lembut, dan bahasa rejang dialek lebong terkesan lebih halus dan lembut dari rejang dialek curup. Dari warna dialek menggambarkan tempramen dari ketiga macam orang rejang tersebut.
     Akasara Kaganga
        Dalam perkembangannya selain bahasa Rejang, suku Rejang juga menggunakan Aksara kaganga. Akasara kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra Selatan. Aksara yang termasuk kelompok ini adalah Akasara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain. Nama aksara Kaganga ini merujuk pada Ketiga aksara Pertama. Yaitu ka, ga, dan nga. Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of hull (Inggris) dalam buku Folk Literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat disebelah selatan adalah Surat ulu.

       
        Aksara batak atau surat batak juga berkerabat dengan kelompok surat Ulu akan tetapi urutannya berebda. Diperkirakan zaman dahulu diseluruh pulau sumatra aceh diujung sampai lampung di selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara kaganga (surat ulu) ini. Tetapi aceh dan minangkabau yang dipergunakan sejak lama adalah huruf kawi. Perbedaan antara aksara kaganga dengan jawa ialah bahwa kasara surat ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara jawa. Aksara ulu diperkirakan berkembang dari aksara palawa dan aksara kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.
Aksara Kaganga Rejang  terdiri dari :
  1.      Aksara ka ga nga ada 19 huruf tunggal meliputi yakni ka ga nga ta da na pa ba ma ca ja nya     sa ra ia ya wa ha a (masing-masing huruf ada lambang bacanya).

  2.    Huruf Ngimbang ada 9 huruf pasangan yang meliputi yakni nda mba nya ngga ngka nca nta    mpa gha ditambah dengan tanda baca, ini gambar tanda baca nya. Jumlah Aksara Kaganga  Rejang ada 28 huruf kaganga, dinamainya ka ga nga karena merujuk kepada tiga huruf  pertama dari 28 huruf kaganga. Adapun cara menuliskan Aksara Kaganga Rejang adalah  ditulis dengan cara menarik alat tulis ke kanan atas dengan kemiringan sekitar 45 derajat,  kemudian diberi tanda perubahan
3.      Tanda Perubahan Bunyi, ada 14 tanda perubahan bunyi dan cara membacanya.
Bila Anda tertarik untuk mempelajarinya silakan datang ke propinsi bengkulu di kota curup lalu pergi ke kabupaten Rajang Lebong.disana anda dapat bertanya dan belajar budaya serta bahasa Aksara KA GA NGA.

8.    Ritual
Ø  Ritual Perkawinan
        Perkawinan merupakan bagian dari ritual lingkaran hidup di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang di Bengkulu. Suku Bangsa Rejang pada dasarnya hanya mengenal bentuk Kawin Jujur. Akan tetapi dalam perkembangan kemudian, muncul pula bentuk Kawin Semendo yang disebabkan karena pengaruh adat Minangkabau dan Islam.
Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan eksogami yang dilakukan dengan pembayaran (jujur) dari pihak pria kepada pihak wanita. Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan patrilinel. Dengan dibayarkannya sejumlah uang maka pihak wanita dan anak-anaknya nanti melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri dan dimasukkan ke dalam kerabat dari pihak suami. Kawin Jujur juga mengharuskan pihak perempuan mempunyai kewajiban untuk tinggal di tempat suami, setidak-tidaknya tinggal di keluarga suaminya.
Kawin Semendo adalah bentuk perkawinan tanpa jujur (pembayaran) dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan, suami harus menetap di keluarga pihak isteri dan berkewajiban untuk meneruskan keturunan dari pihak isteri serta melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri. Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan matrilinel.
  • Adat dan Upacara Perkawinan Suku Rejang

            Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
a.       untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat Temuun Juei;
b.       untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan tercela;
c.       memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendiri.
        Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau                kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :

  1. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.
  1. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.
  1. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.
Pakaian Adat Pria Bengkulu


            Para pria bengkulu mengenakan pakaian adat yang terdiri atas jas, celana panjang, alas kaki dan tutup kepala. Jasnya terbuat dari bahan wol atau beludru berwarna hitam, celana terbuat dari bahan kain satin dengan warna gelap, dan tutup kepalanya dibuat mancung ke atas seperti halnya tutup kepala pada pakaian adat Melayu Riau. Tutup kepala ini dikenal dengan nama detar. Penggunaan celana panjang umumnya akan disertai dengan lipatan sarung yang dipasang di pinggang setinggi lutut. Sarung tersebut adalah sarung songket yang ditenun menggunakan motif emas. Sesuai cara penggunaannya, oleh masyarakat Melayu Bengkulu, sarung ini diberi nama sarung segantung. Sebagai pelengkap penggunaan pakaian adat Bengkulu pada pria lazimnya juga dilengkapi dengan hiasan gelang emas di tangan kanan, serta sebilah keris yang menjadi senjata tradisional sarana perlindungan diri.
Pakaian Adat Wanita Bengkulu
            Untuk pakaian wanita adat Bengkulu memiliki kesamaan dengan pakaian adat Melayu pada umumnya, yaitu berupa baju kurung lengan panjang yang dibuat dari kain beludru. Baju kurung ini dihiasi dengan motif sulaman emas berbentu bulat-bulat seperti lempengan uang logam. Warna yang paling dominan digunakan untuk baju kurung ini biasanya adalah warna-warna tua, seperti merah tua, lembayung, biru tua, dan hitam.
Baju kurung dipadukan dengan bawahan berupa kain songket berbahan sutra yang dihiasi dengan motif benang-benang emas. Sarung yang dikenakan para wanita umumnya serupa dengan sarung yang dikenakan pada pakaian adat pria Bengkulu. Untuk mempercantik penampilan, selain mengenakan pakaian adat, para perempuan juga akan menggunakan beberapa aksesoris lainnya, di antaranya yaitu sanggul lengkap dengan tusuk konde, anting atau giwang emas, serta mahkota dengan hiasan kembang goyang, ikat pinggang, kalung bersusun, gelang emas di pergelangan tangan, serta sepasang alas kaki yang berupa slop bersulam emas. Dengan aksesoris-aksesoris tersebut, wanita Bengkulu yang terkenal cantik akan tampil menjadi lebih sempurna.

Ø  Upacara Sebelum Perkawinan
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara sebelum perkawinan terdiri dari:
a.       Meletak uang. Meletak uang artinya memberi tanda ikatan. Tujuan dari prosesi ini, pertama, sebagai bukti bahwa ucapan kedua belah pihak mengandung keseriusan dan kesepakatan untuk mewujudkan ikatan perkawinan di antara sepasang bujang gadis. Kedua, bersifat pemagaran bahwa sang bujang dan gadis telah terikat, sehingga tidak ada orang lain yang mengganggunya. Tempat pelaksanaan upacara meletakkan uang biasanya dilakukan di rumah pihak wanita. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di malam hari dan sering terjadi pada musim senggang sehabis panen.
b.       Mengasen. Mengasen artinya membayar. Tetapi dalam adat istiadat perkawinan diartikan sebagai meminang. Terdapat tiga tahapan dalammengasen, yaitu semuluak asen, temotoa asen, dan jemejai asen.
c.       Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.
d.      Sembeak Sujud artinya sembah sujud. Dalam adat rejang sembah sujud ini di artikan seabagai acara untuk minta maap dari keluarga mempelai baik yang dari pihak laki laki maupun pihak perempuan.
e.       Melandai artinya bertamu atau bertandang. Ini di maksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada masing – masing keluarga calon mempelai, baik mempelai laki-laki atau pun perempuan.
f.        Basen asuak basuak maksudnya adalah untuk musyawarah/ rapat panitia keluaraga kedua calon mempelai untuk membicarakan masalah resepsi pernikahan. Dalam musyawarah ini muntuk menentukan hari dan tanggal perkawinan, acara yang akan diadakan selama resepsi pernikahan.
g.      Basen kutai maksudnya adalah musyawarah kepada para pemuka adat untuk memeberitahukan bahwa akan mengadakan acara perkawinan.






Komentar