Deskripsi tentang 3 Suku di Indonesia
Profil
Suku-suku (Trunyan di bali, amungme di papua, Rejang di bengkulu)
A. Suku
Trunyan Bali
1. Asal
usul
Trunyan merupakan penduduk asli Bali
di kawasan kepundan Gunung Batur purba yang menganut Agama Hindu-Bali dan tidak
mendapatkan pengaruh Agama Hindu yang berasal dari Jawa, tepatnya Hindu
Majapahit. Desa Trunyan sendiri terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupten
Bangli, Provinsi Bali. Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang
kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang
pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya
masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan. Dhananjaya seorang antropolog era tahun 1980an melakukan
penelitian intensif pada masyarakat Trunyan mengatakan bahwa Trunyan telah
banyak dipengaruhi oleh Agama Hindu Bali Daratan yang dipayungi oleh lembaga
PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia), yang melakukan penetrasi budaya Bali
Daraan pada Bali mula-mula. Walaupun demikian Trunyan masih erat dalam
mempertahankan keotentikan budayanya. Suku Trunyan mengakui dirinya sebagai
orang Bali Turunan, karena mereka mempercayai bahwa leluhur mereka
"turun" dari langit ke bumi Trunyan.
Jadi nama Bali Turunan berarti orang
Bali yang turun langsung dari langit ke tanah Bali. Mereka menganggap diri
mereka berbeda dengan orang Bali Hindu, yang mereka panggil dengan sebutan Bali
Suku, karena orang Bali Suku bukan penduduk asli pulau Bali, melainkan
pendatang dari pulau Jawa yang masuk ke pulau Bali dengan suku (kaki) atau berjalan
kaki.
2. Mitologi
mengenai asal usul penduduk Trunyan,
yang menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari Langit
yang diusir dari kahyangan, untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian
terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib
oleh matahari (Sang Surya) sehingga mengandung, Setelah tiba waktunya Sang Dewi
melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya adalah anak banci dan seorang
lagi anak perempuan.
Setelah kejadian ini Sang Dewi
kemudian kembali ke Kahyangan. Putri dewi tersebut kemudian kawin dengan
seorang putra Raja Jawa (Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik
oleh bau-bauan harum yang dipancarkan oleh sebatang taru (pohon) menyan yang
tumbuh di Trunyan. Dari kedua insan dan dewi ini, kemadian diturunkan penduduk
Trunyan yang sekarang ini. Kejadian mengenai adanya seorang Dewi turun ke bumi
ini, yaitu turun hyang, dan adanya pohon taro menyan yang memancarkan bau-bauan
wangi sehingga dapat menarik kedatangan putra Dalem Solo, menimbulkan dua macam
keterangan mengenai asal usul nama Trunyan. Keterangan yang per-tama mengatakan
Trunyan berasal dari kata-kata turun dan hyang yang barasimilasi menjadi sata
kata; dan yang kedua mengatakan berasal dari kata-kata taro dan menyan. Putra
Dalem Solo dengan istrinya (putri Dewi) yang merupakan cakal bakal desa
Trunyan, kemudian setelah meninggal diangkat menjadi Dewa Tertinggi orang
Trunyan dengan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
3, Sistem
kemasyarakatan
Masyarakat Trunyan, seperti
masyarakat lainnya juga mempunyai kepercayaan tentang religi mereka. Adapun
Religi orang Trunyan adalah suatu Variant, atau satu versi yang berbeda dari
agama Hindu-Bali, yang dapat disebut sebagai Agama Hindu-Bali Trunyan, dan
selanjutnya kepercayaan mereka yang selanjutnya merupakan sebagai salah satu
agama resmi di Indonesia. Agama Hindu
Trunyan dapat disebut sebagai Variant (versi berbeda) dari Agama Hindu-Bali,
Karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan Agama Hindu-Bali, masih
lebih banyak berlandaskan kepada kepercayaan Trunyan asli. Apa yang disebut
kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada
pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya dialam sekeliling tempat
tinggalnya, sehingga. Perlu juga dipuja, percaya bahwa benda-benda dan
tumbuh-tumbuhan disekelilingnya selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti
manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda
yang luar biasa. Walaupun dari
luar Religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk Agama Hindu, Karena
sudah mempergunakan Liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu-Bali.
4. Kebudayaan
Pementasan Burung Bentuk Trunyan
memiliki Tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang di pentaskan
terkecuali saat Odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Pada umumnya Barong
di Bali itu Bentuknya Wujud binatang seperti macan, singa, gajah, naga, maupun
babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan
seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari
daun pisang kering.
Tokoh pada Barong Brutuk seseorang
berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang ratu dan patih, selebihnya
menjadi anggota biasa (unen-unen), di pentaskan pada siang hari upacara odalan
tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan Barong ini dimulai dengan
penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka mengelilingi penyengker
pura selama tiga kali sambal melambaikan semesti dengan suara melengking kepada
para penonton, sehingga membuta para penonton, takut. Kemudian doa-doa dan
sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat seperti
raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudian keempatnya juga mengelilingi
tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba mengambil pakaian
daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar di area perkebunan untuk
kesuburan.
5. Ritual
Ø Upacara
Kelahiran
Menurut kepercayaan orang Trunyan,
pembuahan anak adalah sebagai akibat bersatunya zat semara (darah putih) perempuan dengan buiken (bibit) laki-laki. Keguguran dapat terjadi sebagai akibat
dimakannya janin oleh buta kala. Itulah
sebabnya maka masamasa sekitar kelahiran dianggap penuh bahaya. Untuk menghindari
bahaya tersebut, orang tua si bayi harus memperhatikan beberapa tabu-tabu.
Larangan ini terutama berlaku pada perempuan yang sedang mengandung.
Ø Upacara
Perkawinan
Perkawinan di Trunyan lebih ditujukan kepada
perkawinan endogami dadia (klen kecil
yang virilokal) yaitu menurut ideal orang Trunyan, warga suatu dadia sebaiknya mencari jodoh di
kalangan anggota dadianya sendiri.
Biarpun demikian endogami dadia ini
ada batasnya juga, karena tidak boleh terjadi antara kerabat yang terlalu
dekat. Artinya paling sedikit harus di antara saudara sepupu derajat kedua.
Perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama hanya
boleh terjadi di antara saudara-saudara sepupu, yang merupakan anak-anak dari
dua bersaudara sekandung yang berlainan jenis kelamin (cross cousin), tetapi tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara-saudara
sepupu yang ayahnya bersaudara sekandung (paternal
parallel cousin), karena dianggap sebagai kawin sumbang.
Usia untuk kawin
bagi orang laki-laki Trunyan adalah di sekitar 25 tahun, dan bagi perempuan
20 tahun, tetapi kini ada kecenderungan untuk dilakukan dalam usia yang lebih
muda di kalangan generasi yang lebih muda. Sampai pada hari ini, persetubuhan
sebelum diadakan upacara perkawinan adat tidak dilarang oleh adat, sehingga
banyak dipraktekan oleh para remaja di sana. Perkawinan di Trunyan dapat
dimulai melalui tiga cara, yakni dengan cara meminang (memadik); dengan cara bersama-sama melarikan diri (ngerorot); atau dengan cara menculik
seorang gadis yang tidak rela dikawin (melegandang).
Upacara-upacara
perkawinan empat tahap ini adalah: Mebiekaon,
yang dilakukan di pelataran kompleks perumahan keluarga luas (karang) kemanten laki-laki, dengan
tujuan untuk menyucikan kedua merpati ini setelah melakukan hubungan sex; Meperagat/Mekala-kala, yang diadakan di
pantai danau Batur, yang terletak di muka pekarangan rumah keluarga luas
mempelai laki-laki, dengan maksud untuk membebaskan kedua mempelai dari
pengaruh buruk para buta kala; Bakti
Pesaren, yang diadakan di muka pintu gerbang kuil Ratu Sakti Pancering
Jagat, dengan maksud untuk memberitahu kepada dewa tertinggi mereka, bahwa
perkawinan telah berlangsung, dan upacara pernikahan tahap-tahap terakhir mepekandal akan segera dilaksanakan; Mepekandal, adalah upacara yang
dilakukan di pekarangan kuil bagian luar (jaban),
dengan maksud untuk mengesahkan keanggotaan kedua mempelai sebagai anggota
desa adat (krama desa).
Ø Upacara
Kematian dan Pemakaman Suku Trunyan
Upacara kematian di Desa Trunyan
memang sedikit berbeda dengan daerah-daerah pada umumnnya yang terdapat di
Bali. Mayat diletakkan diatas tanah yang arealnya sudah dibatasi dan di areal
tersebut terdapat sebuah pohon besar yang seakan-akan menyegel aroma mayat agar
tak menentuh Indra. Pohon yang dimaksud adalah pohon taru menyan. Yang mana
bahwa itulah cikal bakal nama Desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan
kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman
orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan
jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah Mepasah. Orang-orang dimakamkan dengan
cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang
telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi
susunya telah tanggal.
2. Dikubur/
dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang
cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti
misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya.
Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuuh diri juga
dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat
meninggal. Desa ini juga memiliki tiga cara unik penggolongan dalam
mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara dengan upacara Pengabenan. Adapun cara tersebut adalah
sebagai berikut:
§ Jika
yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan
umumnya. Tempat pemakamannya disebut “sema muda”. Untuk jarag diperkirakan 200
meter dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi
mayat akan dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaaan perlakuan
tersebut. Ini hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
Trunyan.
§ Untuk
mereka yang meninggal Karena suatu yang tidak wajar seperti, kecelakaan,
pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat
penguburannya adalah di “sema bantas’’ yang terletak di perbatasan Desa Trunyan
dann Desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
§ Untuk
mereka yang meninggal wajar (normal) dalam artian meninggal Karena faktor usia
(bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan
dipemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih)
kemudian diletakkan dibawah pohon Taru Menyan. Mayat akan diletakkan di atas
tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10-20 cm kemudian di pageri.
Tujuan dileakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidak bergeser mengingat
keadaan tanah yang datar. Di informasikan bahwa batasan mayat yang berada di
bawah pohon Taru hanyalah segelas. Masyarakat setempat mengatakan jika mayat
melebihi sebelas maka mayat akan sedikit berbau (terkadang berbau dan terkadang
tidak).
B. Suku Amungme papua
1. Asal-usul
Suku Amungme merupakan suku bangsa yang berada di bagian
pegunungan tengah kabupaten Mimika provinsi papua. Definisi dari suku Amungme
ada dua suku kata yakni : Amung artinya Utama dan Mee artinyaManusia
(orang pertama )arti ini sangat luas, suku lain juga mereka
menganggap saya orang pertama namun suku ini juga membandingkan dengan sejarah
turun – temurun dari lembah baliem dengan nama kurima (tempat orang kumpul) dan
hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme
mendirikan honay dari alang-alang,dan dasar bahasa yang ada di lembah baliem
tempat keluarnya suku bangsa dari pegunungan tengah adalah bahasa Amungme (neungkikal) yang
artinya bahasa utuh.
2. Bahasa
Bahasa suku Bangsa Amungme adalah (Amungkal) berarti
bahasa Amungme dari suku ini beragam bahasa
seperti Aro-a-kal jenis bahasa simbol yang paling sulit
dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal sebagai jenis
bahasa simbol yang hanya diucapkan sewaktu berada di wilayah tertentu yang
dianggap keramat.serta di bagian pembatasan memiliki dua bahasa yang berbeda
seperti bahasa moni,damal,amungme,kamoro,dan nduga,dari suku ini saling
mengenal marga dan orang – orang ternama seperti menagawan , kalwang,
dewan adat , wem-wang, dan wem-mum,(kepala perang) untuk menjadi pemimpin tidak
ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah
oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang
mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
3. Mitologi
Menurut
mitos yang mereka percayai, pada zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di
dalam gua terdapat berbagai jenis tanaman dan binatang. Alkisah pada suatu
ketika orang-orang yang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan
di luar gua. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membuka pintu
gua, kecuali seorang tua, dengan membaca mantra-mantra tertentu. Orang tua itu
dianggap sebagai kepala keluarga dari kelompok mereka. Ketika waktunya sudah
tepat, si orang tua itu mencoba membuka pintu gua dengan memukul-mukul
tongkatnya sambil membaca mantra. Akan tetapi, usahanya tidak berhasil walau
sudah dicoba beberapa kali. Sampai akhirnya, si orang tua meminta bantuan
kepada seorang gadis yang belum pernah mendapat haid untuk memukul tongkat ke
dinding gua sambil menirukan mantra dari si orang tua. Setelah itu, barulah
pintu gua bisa terbuka.
Ketika
pintu berhasil dibuka, keadaan di luar gua masih belum memungkinkan karena
permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi lingkungan di
sekitar gua, diutuslah seekor burung nuri dan mereka menanti burung itu
kembali. Akan tetapi, burung nuri itu tidak kembali lagi. Kemudian, mereka
mengutus seekor burung murai atau negelarki. Saat burung itu kembali, di
dalam paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal itu menandakan
bumi telah cukup kering. Keesokan harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan
mulai berjalan searah matahari, arah ke barat.
Selama
perjalanan, orang-orang mulai menebarkan bibit-bibit tanaman serta melepaskan
binatang-binatang. Lalu, sampailah mereka di gunung Me-arranggumabugin,
yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan.
Rombongan
pertama yang keluar dari gua adalah orang Amungme. Mereka membuat api untuk
menghangatkan badan. Setelah itu, tiba rombongan berikutnya yang berniat untuk
berdiam juga, tetapi karena tempatnya tidak mencukupi, rombongan itu pun
melanjutkan perjalanan. Rombongan inilah yang menjadi moyang dari suku-suku
Ekagi, Moni, dan Wolani, serta suku-suku kecil lain yang berada di sebelah
barat dari wilayah kesatuan hidup suku Amungme.
Rombongan
pertama lalu melanjutkan perjalanan ke arah selatan dari Gunung
Perangama-Bugin. Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam
sekitarnya. Alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan sehingga
orang Amungme sangat menghargai dan menjaga alam sekitarnya. Caranya, dengan
tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika terjadi perusakan, hal itu
sama saja dengan merusak diri mereka sendiri.
Besarnya
penghargaan terhadap alam diungkapkan dalam bentuk upacara pengucapan syukur
atas berkah yang didapat dari alam dan jika ada ada yang merusak alam terungkap
dalam perkataan bijak yang berbunyi:“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap
nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arop nap atendak, ib arop nan
atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!” Artinya:
“Anak-anak, mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah
diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, dan batu itu
pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku akan mengawasimu! ”(Beanal, 1997).
Suku
Amungme secara tradisional mendiami wilayah hampir sepanjang Pegunungan
Jayawijaya
dan terbagi dalam 66 klan. Klan-klan itu merupakan bagian dari masyarakat.
Klan-klan tersebut terdiri atas Mom dan Magai. Perkawinan di
antara mereka hanya bisaterlaksana jika kedua pasangan berasal dari dua klan
yang berbeda. Jika pasangan berasal dari klan yang sama, perkawinan tidak bisa
terlaksana. Jika terjadi pelanggaran, perkawinan itu akan dikutuk dan akan
mendapat sanksi adat berupa hukuman mati yang disebut hanom.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Secara budaya masyarakat suku Amungme terbagi menjadi
dua bagian.Dalam istilah antropologi dikenal dengan nama paroh secara garis
besar keturunan Suku Bangsa
Amungme Paroh
pertama adalah Magai,dan paroh kedua adalah Mom.
Sistem kekerabatan
terkecil dalam kebudayaan suku Amungme
adalah keluarga dalam sebuah rumah biasanya menetap satu keluarga yang
terdiri dari keluarga inti senior. Maka anak yang jadi
berkeluarga tidak dapat diizinkan bergabung dalam orang tuanya. Pola
adat menetapkan bahwa setelah menikah atau kawin harus mempersiapkan
diri untuk pisah dari orang tuanya. Kebiasaan suku Amungme, bagi laki-laki sesudah
kawin diwajibkan membuat satu rumah yang telah siap untuk dirinya dan
isterinya. Selain
itu saudaranya tidak diizinkan untuk membantunya dalam
membuka ladang. Setelah berpisahkan diri dari orang tuanya sang suami
tersebut wajib menjalankan rumah tangganya dan perlu melakukan
kegiatan-kegiatan rumah tangganya dengan baik.
Beberapa model pemimpin suku Amungme yang tersebut ini menyelesaikan
masalah perkawinan secara budaya masyarakat suku Amungme. Misalnya perkawinan secara resmi dalam
budaya suku Amugme adalah laki-laki
dari parohMagai yang terdapat bertunangan dengan perempuan paroh Mom
berarti beberapa model pemimpin ini harus disahkan secara budaya
suku Amungme.Jenis perkawinan
ini dipandang sangat terhormat dikalangan suku Amungme karena memenuhi syarat-syarat utama sesudah diselesaikan oleh
beberapa pemimpin sebagaimana dijelaskan dalam prosesi berikut :Dalam proses perkawinan
pada orangAmungme perkawinan ini bisa di pandang gampang-gampang
sulit di laksanakan dikalangan orang suku Amungme karena yang
dipertaruhkan disini adalah derajat atau harga diri dan kedua pihak
marga yang bersangkutan langsung dalam proses perkawinan adat
tersebut, penonjolan harta kekayaan, kemampuan memberimas kawin, disiplin
dalam soal tepat waktu pelunasan mas kawin dalam pelaksanaan pesta
perkawinan adat yang bersangkutan yaitu Eral (uang) yang
sendiri adalah sistem tukar -menukar barang dengan alat tukar sah yang
diakui masyarakat Amungme,berupa kulit bia (siput). bia (kulitBKerang) ini diperoleh dengan
tukar menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai.
Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat
tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.
Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral (uang) sudah
tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang
tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda
dengan masyarakat suku Amungme
yang tinggal di pedalaman bagian utara,yaitu di daerah pegunungan
masih menggunakan eral(uang) sebagai alat pembayaran mas kawin dalam
prosesperkawinan.
4.
Kebudayaan
Salah
satu keunikan suku Amungme adalah dengan adanya upacara tradisional yang
dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi
terpenting masyarakat suku amungme yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur,
menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan
prajurit untuk berperang. Persiapan awal tradisi ini masing - masing kelompok
menyerahkan hewan babi sebagai persembahan, sebagain ada yang menari, lalu ada
yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses ini awalnya dengan cara
menumpuk batu sedemikian rupa lalu mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan
batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah di persiapkan tadi dipanah terkebih
dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala suku dan dilakukan secara
bergantian. pada Tradisi ini ada pemandangan yang cukup unik dalam ritual
memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan langsung mati,
pertanda acara akan sukses dan bila tidak babi yang di panah tadi tidak
langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.
5. Ritual
Menyayikan Lagu purba Suku Amungme yang mungkin
sudah tidak dipahami lagi oleh orang Amungme generasi sekarang.
Misalnya lagu purba yang syairnya Angaye-angaye,
No emki untaye.
Noken, yaitu sejenis tas terbuat dari akar tumbuhan/rotan.
Tifa adalah alat musik tradisional papua.
Noken, yaitu sejenis tas terbuat dari akar tumbuhan/rotan.
Tifa adalah alat musik tradisional papua.
Tidak banyak seni rupa yang dimiliki oleh suku
ini, kebanyakan mereka hanya memiliki seni adat dan budaya itu sendiri,
misalnya Salah satu keunikan suku Amungme adalah dengan adanya upacara
tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu
tradisi terpenting masyarakat suku amungme yang berfungsi sebagai tanda rasa
syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan
prajurit untuk berperang. Persiapan awal tradisi ini masing - masing kelompok
menyerahkan hewan babi sebagai persembahan, sebagain ada yang menari, lalu ada
yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses ini awalnya dengan cara
menumpuk batu sedemikian rupa lalu mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan
batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah di persiapkan tadi dipanah
terkebih dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala suku dan dilakukan secara
bergantian. pada Tradisi ini ada pemandangan yang cukup unik dalam ritual
memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan langsung mati,
pertanda acara akan sukses dan bila tidak babi yang di panah tadi tidak
langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.
C. Suku Rejang
Bengkulu
1. Letak
geografis
Kabupaten Rejang Lebong dengan terletak
pada posisi 102 31’ Lintang Selatan. Batas-batas 22’07’’- 3Bujur Timur dan 2
administratif Kabupaten Rejang Lebong adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Lebong
Sebelah Selatan : Kabupaten Kepahiang
Sebelah Timur :Kabupaten Musi Rawas
Sebelah Barat : Kabupaten Bengkulu Utara
Ibukota Kabupaten Rejang Lebong terletak
di Kota Curup. Jarak Kota Curup dari beberapa kota disekitar antara lain:
Bengkulu : 85 km, Lubuk
Linggau : 55 km
Palembang : 484 km, Tanjung
Karang : 774 km
Secara
topografi, Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah yang berbukit-bukit,
terletak pada dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 100 –
> 1000 m dpl. Secara umum kondisi fisik Kabupaten Rejang Lebong sebagai
berikut: Kelerengan: datar sampai bergelombang, Jenis Tanah: Andosol, Regosol,
Podsolik, Latasol dan Alluvial, Tekstur Tanah: sedang, lempung dan sedikit
berpasir dengan pH tanah 4,5 –7,5 , Kedalaman efektif Tanah : sebagian besar
terdiri atas kedalaman 60 cm hingga lebih dari 90 cm, sebagian terdapat erosi
ringan dengan tingkat pengikisan 0 – 10 %. Curah hujan rata-rata 233,75
mm/bulan, dengan jumlah hari hujan rata rata 14,6 hari/bulan pada musim kemarau
dan 23,2 hari/bulan pada musim penghujan. Sementara suhu normal rata-rata 17,73
0C – 30,940C dengan kelembaban nisbi rata-rata 85,5 %. Suhu udara maksimum pada
tahun 2003 terjadi pada bulan Juni dan Oktober yaitu 32 derajad Celcius dan
suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli yaitu 16,2 derajad Celcius.
2. Asal-usul
Asal
mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau
orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di
Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang
adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang
orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji
Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat
tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah
kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun,
Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut
istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan
Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang
bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba'
Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada
sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao
beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun
ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu.
Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa
ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya
kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi
ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa
kembali lagi darimana asal mereka berada.
Pegong
pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang
sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita
menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama
banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat.
Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou,
ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi
sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara
adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari
empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai)
untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang
Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok
Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar
persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan
darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah
Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang
bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari
tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu dintaranya:
Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape, Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang, Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape, Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang, Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
Suku
Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan
dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di
Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima
marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu
sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua
dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei
tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot
kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong,
walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal
mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain.
Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan
Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar
dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.
3. Mitologi
Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di
sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara. Nasib mereka sungguh
malang,mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara
itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah
yang perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup
sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat
disayangi keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi
keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu
mereka usahakan terpenuhi dengan sekuat tenaga. Pada suatu malam ketika putri
sedoro putih tidur ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-laki
tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya nenek dari keenam saudaramu
itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan
penuh penasaran.
"Benar, dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang
pohon yang belum pernah ada pada massa ini. Pohon itu akan banyak memberi
manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu,
senyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari
tidurnya. Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.
Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga
setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan
olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung
sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia
menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada
penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati? Jangan sampai
terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah.
Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan
semua mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar,
bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang
banyak, aku rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita
akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai
penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan
tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan.
Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang
senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka
selama semusim.
Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri
Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi
gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh
dari rumah kediaman mereka.
Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah
pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon
seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti
merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.
Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama
tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon
pelindung.
Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan
berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai
buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel
yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.
Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke
kuburan itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung
selalu memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada
saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan
menggigitnya sampai buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang
terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai
sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai
tadi pergi meninggalkan tempat itu.
Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes
dari dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk
mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis.
Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang
telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari.
Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka. Lalu mereka pun sepakat untuk
menyadap air tangkai buah pohon sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong
dan airnya yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan tabung dari seruas
bambu yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan
pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara
memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri sedaro putih. Tikoa tabung yang di
buat dari seruas bambu
Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai
buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah
itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin.
Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung
bambu pun digantungkan disana. Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk
di tanah rejang Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan
mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh
dari pohon Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil. Akan tetapi, timbul suatu
masalah bagi mereka, karena air sadapan itu akan masam jika disimpan terlalu
lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air
sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras
membeku dan berwarna kekuningan. Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan
sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau
pohon aren. Air yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air
nira yang dimasak sampai mengental dan membeku disebut gula merah.
Keterangan :
Pohon enau atau pohon aren termasuk pohon yang banyak jasanya
bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memuliakannya banyak versi lain kisah
legenda yang berkembang di nusantara tentang asal mula pohon enau ini, salah
satunya Putri Sedaro Putih yang berasal dari cerita rakyat suku Rejang. Daerah
kediaman suku Rejang saat ini mayoritas wilayahnya masuk propinsi Bengkulu
meskipun beberapa daerahnya yang lain masuk Propinsi Sumatera Selatan, Lampung
dan Jambi.
Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :
1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat
manisan yang lezat atau campuran kolak.
2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki,
atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.
3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan se
nik (tempat meletakkan kuali atau periuk)
4. Sistem kemasyarakatan
Masyarakat suku rejang mengenal sistem
kesatuan sosial yang bersifat teritorial genealogis yang disebut mego atau
marga atau bang mego. Kesatuan sosial ini berasal dari kelompok keturunan sutan
sriduni, cikal bakal mereka. bang mego asal ada empat, yaitu tubai, bermani,
jekalang, dan selupuak. Pada masa sekarang jumlah bang mego sudah bertambah,
namun pengaruh yang asli masih kuat, mereka yang disebut tiang empat limo
dengan rajo. Pada zaman dahulu merekalah yang menunjuk raja.
Pelapisan masayarakat rejang pada zaman dahulu
diantaranya pertama, golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala
marga. Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan yang ketiga
disebut golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah
para pedito (pemimpin agama) dan labgea (dukun).
5.
Kebudayaan
Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat
acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam
(monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih
matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga
(mawar, cempaka gading, dan cepiring).
Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam). Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut. Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS. Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal. Berdamai dengan Leluhur Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.
Suku Rejang meyakini arwah
leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati
leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya. Kedurai Tebo
merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo
(harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu
sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung. Seperti
halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih
matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan,
dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak
di pinggiran hutan. Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini
disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung
merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu
terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan. Kedurai
atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan
animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini
telah memeluk agama Islam. Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam
menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan
akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan
hak adat di wilayah itu.
6. Bahasa
Rejang
Adalah bahasa yang dituturkan oleh suku
rejang bahasa ini digunakan oleh semua oarng rejang di kabupaten Rejang lebong,
Kabupaten Kepahyang, dan Kabupaten Bengkulu Tengah. Bahasa Rejang sendiri
terdiri atas 3 dialek, yakni Rejang dialek Curup, dialek Kepahiang, dialek
Lebong. Ada beberapa daerah yang termasuk dalam wilayah kabupaten kepahiang menggunakan
Rejang dialek Curup karena letak geografis yang dekat dengan kabupaten Rejang
Lebong. Beberapa daerah yeng dekat secara Geografis dengan wilayah Kabupaten
Lebongjuga ada yang menggunakan Rejang dialek Curup. Begitu juga sebaliknya. Perbedaan dialek
juga terdapat dalam Intonasi dalam berbicara. Bahasa Rejang dialek Kepahiang
terkesan keras dan kasar, dialek rejang curup terkesan halus dan lembut, dan
bahasa rejang dialek lebong terkesan lebih halus dan lembut dari rejang dialek
curup. Dari warna dialek menggambarkan tempramen dari ketiga macam orang rejang
tersebut.
Akasara
Kaganga
Dalam
perkembangannya selain bahasa Rejang, suku Rejang juga menggunakan Aksara
kaganga. Akasara kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang
berkerabat di Sumatra Selatan. Aksara yang termasuk kelompok ini adalah Akasara
Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain. Nama aksara Kaganga ini merujuk pada
Ketiga aksara Pertama. Yaitu ka, ga, dan nga. Istilah kaganga diciptakan oleh
Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of hull
(Inggris) dalam buku Folk Literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts.
Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan
oleh masyarakat disebelah selatan adalah Surat ulu.
Aksara
batak atau surat batak juga berkerabat dengan kelompok surat Ulu akan tetapi
urutannya berebda. Diperkirakan zaman dahulu diseluruh pulau sumatra aceh
diujung sampai lampung di selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan
kelompok aksara kaganga (surat ulu) ini. Tetapi aceh dan minangkabau yang
dipergunakan sejak lama adalah huruf kawi. Perbedaan antara aksara kaganga dengan
jawa ialah bahwa kasara surat ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih
sederhana daripada aksara jawa. Aksara ulu diperkirakan berkembang dari aksara
palawa dan aksara kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra
Selatan.
Aksara Kaganga
Rejang terdiri dari :
1.
Aksara
ka ga nga ada 19 huruf tunggal meliputi yakni ka ga nga ta da na pa ba ma ca ja nya sa ra ia ya wa
ha a (masing-masing huruf ada lambang bacanya).
2. Huruf Ngimbang ada 9 huruf pasangan yang
meliputi yakni nda mba nya ngga ngka nca nta mpa gha ditambah dengan tanda baca,
ini gambar tanda baca nya. Jumlah Aksara Kaganga Rejang ada 28 huruf kaganga,
dinamainya ka ga nga karena merujuk kepada tiga huruf pertama dari 28 huruf
kaganga. Adapun cara menuliskan Aksara Kaganga Rejang adalah ditulis dengan
cara menarik alat tulis ke kanan atas dengan kemiringan sekitar 45 derajat, kemudian diberi tanda perubahan
3. Tanda
Perubahan Bunyi, ada 14 tanda perubahan bunyi dan cara membacanya.
Bila
Anda tertarik untuk mempelajarinya silakan datang ke propinsi bengkulu di kota
curup lalu pergi ke kabupaten Rajang Lebong.disana anda dapat bertanya dan belajar
budaya serta bahasa Aksara KA GA NGA.
8.
Ritual
Ø
Ritual Perkawinan
Perkawinan
merupakan bagian dari ritual lingkaran hidup di dalam adat istiadat Suku Bangsa
Rejang di Bengkulu. Suku Bangsa Rejang pada dasarnya hanya
mengenal bentuk Kawin Jujur. Akan tetapi dalam perkembangan kemudian,
muncul pula bentuk Kawin Semendo yang disebabkan karena pengaruh adat
Minangkabau dan Islam.
Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan
eksogami yang dilakukan dengan pembayaran (jujur) dari pihak pria kepada pihak
wanita. Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan
patrilinel. Dengan dibayarkannya sejumlah uang maka pihak wanita dan
anak-anaknya nanti melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri
dan dimasukkan ke dalam kerabat dari pihak suami. Kawin Jujur juga
mengharuskan pihak perempuan mempunyai kewajiban untuk tinggal di tempat
suami, setidak-tidaknya tinggal di keluarga suaminya.
Kawin Semendo adalah bentuk perkawinan
tanpa jujur (pembayaran) dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah
perkawinan, suami harus menetap di keluarga pihak isteri dan berkewajiban untuk
meneruskan keturunan dari pihak isteri serta melepaskan hak dan kedudukannya di
pihak kerabatnya sendiri. Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan
yang menjamin garis keturunan matrilinel.
- Adat dan Upacara Perkawinan Suku Rejang
Bagi suku Rejang perkawinan
mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
a. untuk
mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat
Temuun Juei;
b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal
dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan tercela;
c. memperoleh
status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang
kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin
mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk
kekayaan bagi keluarga mereka sendiri.
Bentuk-bentuk
perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan
tersebut adalah :
- Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.
- Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.
- Perkawinan ganti tikar (Mengebalau),
yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah
meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang
berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.
Pakaian
Adat Pria Bengkulu
Para pria bengkulu mengenakan
pakaian adat yang terdiri atas jas, celana panjang, alas kaki dan tutup kepala.
Jasnya terbuat dari bahan wol atau beludru berwarna hitam,
celana terbuat dari bahan kain satin dengan warna gelap, dan tutup kepalanya
dibuat mancung ke atas seperti halnya tutup kepala pada pakaian adat Melayu
Riau. Tutup kepala ini dikenal dengan nama detar. Penggunaan celana panjang
umumnya akan disertai dengan lipatan sarung yang dipasang di pinggang setinggi
lutut. Sarung tersebut adalah sarung songket yang ditenun menggunakan motif emas.
Sesuai cara penggunaannya, oleh masyarakat Melayu Bengkulu, sarung ini diberi
nama sarung segantung. Sebagai pelengkap penggunaan pakaian adat Bengkulu pada
pria lazimnya juga dilengkapi dengan hiasan gelang emas di tangan kanan, serta
sebilah keris yang menjadi senjata tradisional sarana perlindungan diri.
Pakaian
Adat Wanita Bengkulu
Untuk pakaian wanita adat Bengkulu
memiliki kesamaan dengan pakaian adat Melayu pada umumnya, yaitu berupa baju
kurung lengan panjang yang dibuat dari kain beludru. Baju kurung ini dihiasi
dengan motif sulaman emas berbentu bulat-bulat seperti
lempengan uang logam. Warna yang paling dominan digunakan untuk baju kurung ini
biasanya adalah warna-warna tua, seperti merah tua, lembayung, biru tua, dan
hitam.
Baju
kurung dipadukan dengan bawahan berupa kain songket berbahan sutra yang dihiasi
dengan motif benang-benang emas. Sarung yang dikenakan para wanita umumnya
serupa dengan sarung yang dikenakan pada pakaian adat pria Bengkulu. Untuk
mempercantik penampilan, selain mengenakan pakaian adat, para perempuan juga
akan menggunakan beberapa aksesoris lainnya, di antaranya yaitu sanggul lengkap
dengan tusuk konde, anting atau giwang emas, serta mahkota dengan hiasan
kembang goyang, ikat pinggang, kalung bersusun, gelang emas di pergelangan
tangan, serta sepasang alas kaki yang berupa slop bersulam emas. Dengan
aksesoris-aksesoris tersebut, wanita Bengkulu yang terkenal cantik akan tampil
menjadi lebih sempurna.
Ø
Upacara Sebelum Perkawinan
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang,
upacara sebelum perkawinan terdiri dari:
a.
Meletak uang. Meletak
uang artinya memberi tanda ikatan. Tujuan dari prosesi ini, pertama, sebagai
bukti bahwa ucapan kedua belah pihak mengandung keseriusan dan kesepakatan
untuk mewujudkan ikatan perkawinan di antara sepasang bujang gadis. Kedua,
bersifat pemagaran bahwa sang bujang dan gadis telah terikat, sehingga tidak
ada orang lain yang mengganggunya. Tempat pelaksanaan upacara meletakkan uang
biasanya dilakukan di rumah pihak wanita. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan
di malam hari dan sering terjadi pada musim senggang sehabis panen.
b.
Mengasen. Mengasen artinya membayar.
Tetapi dalam adat istiadat perkawinan diartikan sebagai meminang. Terdapat tiga
tahapan dalammengasen, yaitu semuluak asen, temotoa
asen, dan jemejai asen.
c.
Jemejai atau Semakup
Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan
kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk
meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut
telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin),
dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu
nantinya setelah menikah.
d.
Sembeak
Sujud artinya sembah sujud. Dalam adat rejang sembah sujud ini di artikan
seabagai acara untuk minta maap dari keluarga mempelai baik yang dari pihak
laki laki maupun pihak perempuan.
e.
Melandai artinya
bertamu atau bertandang. Ini di maksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada
masing – masing keluarga calon mempelai, baik mempelai laki-laki atau pun
perempuan.
f.
Basen asuak
basuak maksudnya adalah untuk musyawarah/ rapat panitia keluaraga kedua
calon mempelai untuk membicarakan masalah resepsi pernikahan. Dalam musyawarah
ini muntuk menentukan hari dan tanggal perkawinan, acara yang akan diadakan
selama resepsi pernikahan.
g.
Basen
kutai maksudnya adalah musyawarah kepada para pemuka adat untuk memeberitahukan
bahwa akan mengadakan acara perkawinan.
Komentar
Posting Komentar