Makalah Agama Tradisional Trunyan di Bali
Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Agama-agama Lokal
Disusun Oleh:
Ahmad Zaenul Aziz: 11150321000045
Kelas : 4/B Studi
Agama-agama
Dosen Pembimbing: Siti Nadroh
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar sering dijumpai suatu
kondisi dimana agama besar yang sudah keluar dari tempat asalnya dan
bersinggungan dengan agama atau kebudayaan, tradisi, di suatu tempat, akan
melahirkan suatu pemahaman atau bahkan varian baru agama tersebut. Ada beberapa
pola hasil persinggungan antara agama besar dengan agamma lokal setempat.
Terkadang agama besar dapat masuk dan dapat menggantikan kepercayaan
setempat bahkan bisa saja tertolak Karena kuatnya resistensi dari kepercayaan setempat.
Namun hasil persinggungan antara agama besar dengan agama lokal yang banyak di
jumpai di Indonesia adalah adanya akulturasi bahkan sampai sinkretisasi. Hal
ini tentu saja Karena kuatnya resistensi dari masyarakat dalam memegang adat
istiadatnya. Di Bali hal ini dapat kita temukan dengan melihat agama Hindu Bali
di Trunyan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asal Usul Orang Trunyan?
2. Bagaimana Mite, Religi Adat Kebudayaan,
Tempat dan Upacara Keagamaan?
3. Bagaimana Upacara Kematian
dan Pemakaman Suku Trunyan?
4. Bagaimana Interaksi Kepercayaan Orang
Trunyan?
C.
Tujuan Masalah
1. Unuk Mengetahui Bagaimana Asal Usul Orang
Trunyan.
2. Unuk Mengetahui Bagaimana Mite, Religi, Adat
Kebudayaan, Tempat dan Upacara Keagamaan.
3. Unuk Mengetahui Bagaimana Upacara
Kematian dan Pemakaman Suku Trunyan.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Interaksi
Kepercayaan Orang Trunyan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Trunyan/Bali
Trunyan
merupakan penduduk asli Bali di kawasan kepundan Gunung Batur purba yang
menganut Agama Hindu-Bali dan tidak mendapatkan pengaruh Agama Hindu yang
berasal dari Jawa, tepatnya Hindu Majapahit. Desa Trunyan sendiri terletak di
Kecamatan Kintamani, Kabupten Bangli, Provinsi Bali. Bali Aga atau Bali Mula
yang masih teguh memegang kepercayaan leluhurnya.
Bali
Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali.
Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui salah
satunya di Desa Trunyan. Dhananjaya seorang antropolog era tahun 1980an
melakukan penelitian intensif pada masyarakat Trunyan mengatakan bahwa Trunyan
telah banyak dipengaruhi oleh Agama Hindu Bali Daratan yang dipayungi oleh
lembaga PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia), yang melakukan penetrasi
budaya Bali Daraan pada Bali mula-mula. Walaupun demikian Trunyan masih erat
dalam mempertahankan keotentikan budayanya[1].
Suku
Trunyan mengakui dirinya sebagai orang Bali Turunan, karena mereka mempercayai
bahwa leluhur mereka "turun" dari langit ke bumi Trunyan. Jadi
nama Bali Turunan berarti orang Bali yang turun langsung dari langit ke tanah
Bali. Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu, yang
mereka panggil dengan sebutan Bali Suku, karena orang Bali Suku bukan penduduk
asli pulau Bali, melainkan pendatang dari pulau Jawa yang masuk ke pulau Bali
dengan suku (kaki) atau berjalan kaki.
Suku
Trunyan mempunyai suatu mitologi yang mereka jadikan sebagai “dongeng suci”
mengenai asal usul penduduk Trunyan, yang menceritakan bahwa leluhur wanita
mereka adalah seorang Dewi dari Langit yang diusir dari kahyangan, untuk turun
ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim
Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib oleh matahari (Sang Surya) sehingga
mengandung.[2]
Setelah
tiba waktunya Sang Dewi melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya
adalah anak banci dan seorang lagi anak perempuan. Setelah kejadian ini Sang
Dewi kemudian kembali ke Kahyangan. Putri dewi tersebut kemudian kawin dengan
seorang putra Raja Jawa (Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik
oleh bau-bauan harum yang dipancarkan oleh sebatang taru (pohon) menyan yang
tumbuh di Trunyan.
Dari
kedua insan dan dewi ini, kemadian diturunkan penduduk Trunyan yang sekarang
ini. Kejadian mengenai adanya seorang Dewi turun ke bumi ini, yaitu turun
hyang, dan adanya pohon taro menyan yang memancarkan bau-bauan wangi sehingga
dapat menarik kedatangan putra Dalem Solo, menimbulkan dua macam keterangan
mengenai asal usul nama Trunyan. Keterangan yang per-tama mengatakan Trunyan
berasal dari kata-kata turun dan hyang yang barasimilasi menjadi sata kata; dan
yang kedua mengatakan berasal dari kata-kata taro dan menyan. Putra Dalem Solo
dengan istrinya (putri Dewi) yang merupakan cakal bakal desa Trunyan, kemudian
setelah meninggal diangkat menjadi Dewa Tertinggi orang Trunyan dengan gelar
Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.[3]
B.
Mite, Religi, Adat Kebudayaan, Tempat dan
Upacara Keagamaan
a.
Mite Atau Legenda
Mite
tentang dewi yang turun dari langit. Trunyan mempunyai satu mite (dongeng suci)
mengenai asal usul penduduk Trunyan, yang menceritakan bahwa leluhur wanita
mereka adalah seorang dewi dari langit yang diusir dari kahyangan (entah Karena
dosa apa), untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan
nama Desa Trunyan. Rahim dewi ini kemudian di buahi secara ajaib oleh Matahari
(Sang Surya).
Karena sering menghina Sang Surya dengan cara
memperlihatkan alat kelaminnya sambil menungging ke arahnya. Sebagai akibat
kenakalannya itu secara ghaib ia mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang
Dewi melahirkan sepasang anak kembar yang berlainan jenis kelamin (kembar
buncing), seorang diantaranya adalah anak banci dan seorang lagi anak
perempuan. Setelah anak tersebut besar Sang Dewi kemudian kembali ke kahyangan.[4]
Kemudian
Legenda Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, Dewi Danau yang juga bergelar Ratu Ayu
Pingit Dalam Dasar atau I Ratu Ayu Mas Membah adalah dewi penguasa Danau Batur
bersama-sama dengan putera sulungnya, yaitu Ratu Gede Dalam Dasar. Ia adalah
permaisuri Ratu Sakti Pancering Jagat yang dipuja bersama suaminya di Pura Pancering
Jagat Terunyan. Dewi Danu merupakan salah satu Batara Kawitan (dewa yang
asalnya adalah leluhur yang telah lama wafat) yang memiliki silsilah kedewaan.[5]
b.
Religi
Masyarakat
Trunyan, seperti masyarakat lainnya juga mempunyai kepercayaan tentang religi
mereka. Adapun Religi orang Trunyan adalah suatu Variant, atau satu versi yang
berbeda dari agama Hindu-Bali, yang dapat disebut sebagai Agama Hindu-Bali
Trunyan, dan selanjutnya kepercayaan mereka yang selanjutnya merupakan sebagai
salah satu agama resmi di Indonesia.
Agama
Hindu Trunyan dapat disebut sebagai Variant (versi berbeda) dari Agama
Hindu-Bali, Karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan Agama
Hindu-Bali, masih lebih banyak berlandaskan kepada kepercayaan Trunyan asli.
Apa yang disebut kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang
berdasarkan kepada pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya
dialam sekeliling tempat tinggalnya, sehingga.
Perlu
juga dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan disekelilingnya
selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang
adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa.
Walaupun
dari luar Religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk Agama Hindu,
Karena sudah mempergunakan Liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu-Bali.
Adapun
Liturgi Hindu, yaitu antara lain diciri oleh adanya Pelinggih-pelinggih, Meru, dan Hias Ragam Puncak dinding berupa
Ratna, yang merupakan atribut utama kuil Hindu, namun semua ini dipergunakan
untuk memuja Dewa-dewi asli Trunyan.[6]
Pelinggih-pelinggih, dan meru yang
didirikan di dalam kuil utama Trunyan, Bali Desa Pancering Jagat Bali sebagian
besar dan terutama bukan diperuntukan bagi para dewa Hindu asli Trunyan. Memang
diantara pelinggih-pelingggih tersebut
ada beberapa yang diperuntukkan bagi dewa-dewa Hindu asal India, yaitu misalnya
Pelinggih Ida Ayu Maospati tempat bersemayamnya Betara Indra dan Betara Gangga.
Namun
letak pelinggih tersebut bukan tempat kuil utama Trunyan yang tersuci, melainkan
di Tempek semangen, yang termasuk
bagian terluar (jaban) dari kuil utama tersebut, walaupun di kuil utama mereka
terdapat pelinggih, tempat bersemayam dewa yang bernama Betara Galungan-Kuningan.
Keadaan pelinggih ini sangat menyedihkan, Karena sudah lapuk kurang pemeliharaan,
serta kecuali bentuknya.
Dewa
tersebut hanya di upacarakan, jika kebetulan hari Raya Galungan jatuhnya
bertepatan dengan Purnama Kadesa (kesepuluh), yaitu keadaan yang disebut nemu
purnama (bertemu bulan purnama) yanag jarang terjadi. Penduduk Desa Trunyan
tidak merayakan Hari Raya Galungan, Nyepi, Ciwaratri, Saraswati, Pagerwesi, dan
Kuningan, secara yang di lakukan orang Hindu Bali, melainkan sebagai gantinya
pada sebagian hari-hari yang sama.
Mereka
merayakan upacara Khas Trunyan sendiri, atau tidak merayakannya sama sekali.
Menurut kepercayaan orang Trunyan aspek jiwa manusia yang bersifat perempuan
bersemayam di bagian hulu hati mereka, sedangkan aspek jiwa manusia yang
bersifat laki-laki bersemayam di ubun-ubun kepala mereka. Oleh karnanya maka
untuk menghormati aspek jiwa yang bersifat perempuan tetebasan didekatkan pada
hulu hati seseorang oleh seseorang pemangku dan Balian yang melakukan upacara.
Orang
yang di upacarakan harus mempergunakan kedua tangannya untuk melakukan gerakan
seolah-olah sedang meraup-raup sari yang keluar dari sajian tersebut kearah
hulu hatinya agar masuk kesitu. Untuk menghormati aspek jiwa laki-laki sajian
ketebasan sapu lara secara perlahan-lahan diletakkan diatas kepala orang yang
sedang di upacarakan. Maksud upacara
Natab ini adalah agar jiwa seseorang bersedia terus menjaga keselamatan badan
kasarnya yang sedang disemayam itu. Karena upacara ini di lakukan bagi
perorangan, maka sajian yang di buat pun harus bersifat perorangan.[7]
Pada
upacara Natab ini juga sekalian nyama pat setiap anggota rumah tangga, di
panggil berkumpul kembali untuk menemani jiwa pribadi masing-masing, untuk
turut menjaga keselamatan dan kesehatan badan kasarnya. Hal ini dilakukan
karena orang Trunyan percaya bahwa selama enam bulan itu keempat saudara jiwa
manusia dapat terpancar, terutama bagi mereka yang suka bepergian jauh ke
tempat-tempat berbeda.
Keadaan
ini dapat melemahkan kesehatan tubuh jiwa yang bersangkutan selalu gelisah atau
sakit-sakitan. Untuk memulihkan kesehatan serta ketenangan tubuh dan jiwa yang
bersangkutan, Nyam pat-nya harus di panggil berkumpul kembali upacara Natab
tersebut. Hari Raya orang Bali-Hindu yang dilewatkan begitu saja oleh orang
Trunyan, karna memang bukan merupakan hari raya mereka, adalah Hari Raya
Kuningan, Nyepi (tahun baru orang Bli-Hindu).
Khusus
mengenai Hari Raya Nyepi jika pada orang Bali-Hindu dirayakan dengan tidak
bekerja, yang dilambangkan dengan adanya pantangan untuk menyalakan api pada
hari itu, di Trunyan pada hari itu justru terlihat orang sedang sibuk-sibuknya
menyalakan dengan mereka untuk menyiapkan masakan, yang akan disajikan kepada
dewa mereka di Pura Dalem.[8]
c.
Adat Kebudayaan Suku Trunyan
Pementasan
Burung Bentuk Trunyan memiliki Tarian langka bernama Barong Brutuk sangat
jarang di pentaskan terkecuali saat Odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan.
Pada umumnya Barong di Bali itu Bentuknya Wujud binatang seperti macan, singa,
gajah, naga, maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya
barongnya menggunakan seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang
remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
Tokoh
pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang
ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), di pentaskan pada
siang hari upacara odalan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan
Barong ini dimulai dengan penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka
mengelilingi penyengker pura selama tiga kali sambal melambaikan semesti dengan
suara melengking kepada para penonton, sehingga membuta para penonton, takut.[9]
Kemudian
doa-doa dan sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh
ningrat seperti raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudian keempatnya juga
mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba
mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar di area
perkebunan untuk kesuburan.
Tari
Baris dalam Kebudayaan Suku Trunyan, menurut Soedarsono adalah tari ritula yang
penting di Bali tari ini juga merupakan tari pahlawanan, dan khusus di tarikan
oleh pria. Sifat ritual ini tari ini adalah untuk membuktikan kedewasaan
seorang secara jasmani, dan kedewasaan seseorang ini di pertunjukan
kemahirannya dalam oleh keprajuritannya yang biasannya disertai kemahiran dalam
memainkan senjata.[10]
Tarian
ini diiringi oleh Gamelan, dan di tarikan berpasangan yang terdiri dari empat,
delapan, bahkan sampai berpuluh-puluh pasangan. Gerak tarinya lebih menekankan
ketegapan daan kemantapan dalam langkah kaki serta kemahiran memainkan senjata.
Kostum para penarinya juga khas, yaitu selain memakai tutup kepala yang
berbentuk kerucut, juga pakaian yang dihiasi dengan kain-kain kecil panjang,
sehingga memberi kesan pakaian besi.
Tradisi
Mepasah merupakan peruwjudan syukur kepada Ida Sang Hyang WidhiWasa. Tradisi
Mepasah yang dilaksanakan di Desa Trunyan, Kintamani Bangli merupakan
uapcara yang didasari oleh rasa bakti umat Hindu di Trunyan untuk memohon
anugrah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan upacara ini pada
dasarnya dilatar belakangi oleh rasa bakti dan cinta kasih masyarakat Desa
Trunyan kepada leluhurnya yang telah meninggalkan bermacam-macam kebudayaan
terutama pelestarian lingkungan hidup serta menjaga keharmonisan kehidupan
manusia melalui upacara Mepasah (Manusa Yadnya).
Adapun
Latar belakang masyarakat Desa Trunyan melakukan tradisi mepasah dapat dilihat dari beberapa:
1.
Faktor Historis: Kemunculan tradisi Mepasah
berawal dari bauharum[11]
yang berasal dari desa Trunyan yang tercium sampai ke puri (keraton) Dalem
Solo.Bau harum yang luar biasa ini telah menarik minat emapat orang anak Dalem
Solo untuk bersama-sama pergi mencari sumbernya. Dari empat anak Dalem Solo
itu, tiga yang lebih tuausianya adalah laki-laki, sedangkan yang termuda adalah
seorang wanita. Dalam pengembaraan tersebut, akhirnya mereka tiba di pulau
Bali. Setelah tiba di antara batas pulau Bali sebelah timur, yaitu di antara
Desa-Desa culik-Karangasem, dan tepi, yang terletak diperbatasan Kabupaten
karangasem dan Buleleng, keempat anak dapat mencium bau itu lebihkeras.
Bau harum ini makin tajam sewaktu tiba di Daerah Btur, setiba
di kaki selatan gunung Batur, anak Dalem Solo yang perempuan berkeputusan untuk
berdiam di tempat itu, yaitu ditempat pura Batur sekarang. Gelar putri tersebut
setelah menjadi dewi adalah Ratu Ayu Mas Maketeg. Ketiga saudara laki-lakinya
melanjutkan perjalanan menyusur pinggir danau Batur dan ketika tiba di suatu
tempat yang datar di sebelah baratnya danau, terdengar oleh merekasuara burung.
Maka sejak itu tempat itu bernama Kedisa burung dalam bahasa
Bali adalah kedis. Waktu mendengar suara itu, karena girangnya, putra
Dalem Solo berteriak. Hal inimembuat kakaknya yang tertua kurang senang,
sehingga menginginkan supaya adiknya untuk selanjutnya tinggal di tempat itu,
dan tida lagi ikut pengembaraan mereka.[12]
Setelah meninggalkan adik mereka, kedua putra Dalem Solo yang
selebihnya, terus menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur, dan tiba di suatu
dataran lain dimana merekamenemukan dua orang wanita, yang satu sedang mencari
kutu di atas kepala yang lain. Karena amat gembira melihat manusia, putra Dalem
Solo yang ke dua lalu menyapa ke duawanita tersebut.
Perbuatan adiknya ini menimbulkan ketidaksenangan pada hati
kakaknya Segera adiknya diperintahkan agar tidak lagi mengikutinya dalam usaha
mencari sumber bauharum, melainkan tinggal untuk selanjutnya di tempat itu
saja. Si adik menolak dengan keras, sehingga membuat kakaknya naik pitam dan
menyepak adiknya keras-keras, sehingga adikini jatuh melingkih (terlungkup).
Dalam keadaan ini, ia ditinggalkan oleh kakaknya, dankemudian
menjadi kepala Daerah di sana. Sampai kini di daerah itu masih terdapat sebuah
patung Betara dari batu, yang berada dalam sikap melingkuh. dari
kata melingkuh ini kemudian Desa tersebut mendapat nama Abang Dukuh,
karena menurut etimologi rakyat Dukuh berasal dari kata melingkuh, dan
di sebut abang, karena desa itu merupakan bagiandari desa Abang.
Setelah meninggalkan adik-adiknya di desa-desa tersebut,
putra sulung Dalem Solo melanjutkan perjalanannya ke utara sambil kembali
menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Akhirnya ia tiba di
suatu dataran lagi, dimana di temukan seorang dewi yang teramat mnggiurkan hati
mudanya.
Dewi itu sedang berada seorang diri di bawah pohon Taru
Menyan, sumber dari bau harum yang dicarinya itu. Perasaan birahi mudanya
segera bangkit, dan di luar kekuasaannya lagi Sang Dewi segera disanggamainya.
Setelah selesai, si pemuda petulang ini, pergi menghadap kakak Sang Dewi untuk
melamar adiknya. Permohonannya dikabulkan dengan syarat ia harus dijadikan pancer
(Pasak) dari jagat (Dunia) mereka, yaitu dalam arti menjadi pemimpin
Desa Trunyan. Syarat ini sudah tentu disanggupi putra Dalem Solo, dan pengesahan
perkawinan terjadilah.
Putra Dalem Solo ini, kemudian bergelar Ratu Sakti Pancering
Jagat. Dan Dewi tersebut bergelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Ia adalah Dewi Danu
(Danau), karena bersama putra pertamanya hasil perkawinan dengan Ratu Sakti
Pancering Jagat, yang bernama Ratu Gede Dalem Dasar, mereka menguasai Danau
Batur. Penduduk Trunyan dari kasta Bnjar Jaba adalah keturunan mereka. Setelah
perkawinan ini, tempat yang mereka diami berangsur-angsur berkembang
menjadisuatu kerajaan kecil dengan Ratu Sakti Pancering Jagat sebagai Rajanya.[13]
Kemudian karena kawatir kerajaan mereka ini akan diserbu
orang luar yang terpesona oleh bau harum yang dikeluarkan pohon Menyan, maka
Ratu Sakti Pancering Jgat memerintah untuk menghilangkan bau harus tersebut.
Caranya adalah dengan jalan tidak lagi memperkenankan Jenazah-Jenazah orang
Trunyan dikebumikan melainkan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.
Itulah sebabnya, mengapa sejak itu desa Trunyan tidak lagi
mengeluarkan bau harum yang mempesonakan, tetapi sebaliknya jenazah-jenazah
penduduk yang di biarkanmembusuk di udara terbuka tidak mengeluarkan bau busuk.
2.
Faktor Keyakinan atau kepercayaan: pelaksanaan
upacara keagamaan khususnya dalam upacara mepasah yang didukung dengan
sarana upakara/sesajen/banten. Sesajen tersebut meyakinkan bahwa
tradisi mepasah memiliki suatu nilai religius yang diyakini oleh
masyarakat di DesaTrunyan. Selain itu hubungan tradisi mepasah juga erat
dengan konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan
(alam), antara manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan Tuhan.[14]
Sehingga masyarakat di Desa Trunyan melakukan tradisi mepasah
disebabkan oleh adanya suatu kepercayaan. Tradisi mepasah yang
dilaksanakan merupakan wujud nyata dari aktivitas-aktivitas keagamaan yang
terealisasi lewat pelaksanaan yadnya atau korban suci yang dilakukan
dengan tulus ikhlas yang didalamnya terdiri dari sarana upakara/banten/sesajen
yang lebih banyak berbentuk material.
3.
Faktor Upacara Ritual. Secara historis masyarakat
Desa Trunyan memakna suatu upacara sebagai bentuk sebuah Yadnya, dimana Yadnya
merupakan wujud dari rasa terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa) dengan bentuk persembahan dan pengorbanan yang tulus
iklas yang timbul dari hati yang suci dengan maksud yang mulia dan luhur.
Begitu halnya masyarakat Desa Trunyan dengan melaksanakan
ritual Mepasah dan juga merupakan bentuk penghormatan kepada nenek
moyang, dalam upacara ritual ini diharapkan jenazah benar-benar dalam keadaan
yang sudah di tentukan dalam proses mepasah, pada saat meninggal tidak
memikiki cacat pisik atau meninggal karena di bunuh. Ritual mempunyai fungsi
dan peranan tersendiri bagi masyarakat yang bersangkutan.[15]
d.
Tempat dan Upacara Keagamaan
Upacara Keagamaan yang
terdapat di Suku Trunyan terbagi menjadi lima
yaitu
sebagai berikut: pertama, Dewa Nyadnya, bisa disebut dengan odalan yang
bertujuan untuk mengambil hati dewa yang di upacarakan. Hampir setiap bulan ada
upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba
Gede yang di lakukan pada saat Tilem
Kasama dan Odalan Ratu Pingit dalem
pada saat purnama Saddha.
Kedua, Putra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para
kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi
Nyadnya upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta. Keempat, Buta Nyadnya upacara yang dilakukan
untuk para Buta Kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Nyadnya, upacara yang
dilakukan untuk manusia yang masih hidup misalnya, upacara ulaang tahun otonan
yang berlangsung 6 bulan sekali.
Seperti halnya dengan
upacara-upacara keagamaan di Trunyan juga terdapat dari empat bagian, yaitu:
pertama, tempat-tempat upacara keagamaan, yang kedua saat-saat upacara, ketika,
benda-benda dan alat-alat upacara, keempat, orang-orang yang melakukan dan
memimpin upacara. Karena upacara-upacara keagamaan adalah suatu yang dianggap
kramat, maka semua yang merupakan bagian dari itu secara otomatis juga dianggap
kramat. Ada beberapa upacara keagamaan lainnya seperti:
1.
Upacara Kelahiran
Menurut kepercayaan orang Trunyan,
pembuahan anak adalah sebagai akibat bersatunya zat semara (darah putih) perempuan dengan buiken (bibit) laki-laki. Keguguran dapat terjadi sebagai akibat
dimakannya janin oleh buta kala. Itulah
sebabnya maka masamasa sekitar kelahiran dianggap penuh bahaya. Untuk menghindari
bahaya tersebut, orang tua si bayi harus memperhatikan beberapa tabu-tabu.
Larangan ini terutama berlaku pada perempuan yang sedang mengandung.
Masih
ada beberapa upacara lain lagi yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak
di Trunyan. [16]
a. Tutug Telu:
Upacara ini dilakukan pada malam
hari, pada waktu si bayi berusia tiga hari, dan dilaksanakan oleh bidan lakilaki.
Upacara ini penting, karena berupa upacara untuk pemberian nama bagi si bayi.
Yang menarik dari upacara ini adalah bahwa biarpun nama ini disarankan oleh
orang tua si bayi, tetapi yang memilihnya adalah roh si anak sendiri.
b.
Tutug
Wolu:
Upacara ini diadakan pada waktu si bayi berusia
delapan hari; dan upacara ini khusus dilakukan bagi dewa penjaga anak bayi yang
disebut Empu Rar
c.
Tutug
Duadasa:
Upacara ini dilaksanakan pada waktu si bayi berusia
duabelas hari. Pada kesempatan itu cuping seorang bayi laki-laki maupun
perempuan ditindik, dan sejak hari itu si bayi baru diperbolehkan untuk pertama
kali keluar rumahnya untuk melihat matahari, karena pada usia ini seorang bayi
sudah dianggap cukup kuat untuk menghadapi pengaruh roh jahat.
d.
Tutug
Bulan Pitung Dina (atau Lepas Berata):
Upacara ini di adakan pada waktu si bayi berusia 42
hari. Fungsi upacara ini adalah untuk membebaskan orang tua si bayi dari segala
pemali, yang dikenakan sejak si anak berusia tiga hari.
e.
Tutug
Telu Bulanan:
Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia tiga
bulan. Upacara ini dilakukan pada malam hari. Usia tiga bulan adalah sangat
penting, karena sejak usia itu roh si anak dianggap akan mendiami tubuh
kasarnya secara permanen. Pada hari itu si bayi untuk pertama kalinya
diperbolehkan memakai pakaian baru dan perhiasan tubuh.
f.
Tutug
Enem Bulanan (Otonan atau upacara
hari jadi):
Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi mencapai usia
enam bulan. Otonan inilah hari jadi
atau hari ulang tahun orang Bali, karena hari jadi orang Bali bukan dirayakan
dua betas bulan sekali, melainkan enam bulan sekali. Guna upacara ini terutama
adalah ditujukan kepada "empat saudara" si bayi, agar mau berkumpul
kembali di dekat si bayi, dan selain itu juga untuk mendamaikan roh pribadi si
bayi agar bersedia untuk tetap menempati tubuh kasarnya yang sekarang lebih
lama lagi.
g.
Tutug
Dua Dasi Bulanan:
Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia 12
bulan. Pada upacara ini rambut si bayi digunting untuk pertama kali. Jadi
upacara ini mempunyai dua fungsi, pertama sebagai hari jadi dan kedua untuk
upacara pemotongan rambut untuk pertama kali. Upacara menjadi lebih penting
apabila rambut si anak menjadi gembel, yang menunjukan bahwa rohnya sangat
"kotor". Rambut yang dipotong akan ditanam di kuil dadia bersama potongan gigi bekas
upacara pangur yang akan diadakan kelak.
2.
Upacara Perkawinan[17]
Perkawinan di
Trunyan lebih ditujukan kepada perkawinan endogami dadia (klen kecil yang virilokal) yaitu menurut ideal orang
Trunyan, warga suatu dadia sebaiknya
mencari jodoh di kalangan anggota dadianya
sendiri. Biarpun demikian endogami dadia
ini ada batasnya juga, karena tidak boleh terjadi antara kerabat yang
terlalu dekat. Artinya paling sedikit harus di antara saudara sepupu derajat
kedua.
Perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama hanya
boleh terjadi di antara saudara-saudara sepupu, yang merupakan anak-anak dari
dua bersaudara sekandung yang berlainan jenis kelamin (cross cousin), tetapi tidak boleh terjadi perkawinan di antara
saudara-saudara sepupu yang ayahnya bersaudara sekandung (paternal parallel cousin), karena dianggap sebagai kawin sumbang.
Usia untuk kawin
bagi orang laki-laki Trunyan adalah di sekitar 25 tahun, dan bagi perempuan
20 tahun, tetapi kini ada kecenderungan untuk dilakukan dalam usia yang lebih
muda di kalangan generasi yang lebih muda. Sampai pada hari ini, persetubuhan
sebelum diadakan upacara perkawinan adat tidak dilarang oleh adat, sehingga
banyak dipraktekan oleh para remaja di sana. Perkawinan di Trunyan dapat
dimulai melalui tiga cara, yakni dengan cara meminang (memadik); dengan cara bersama-sama melarikan diri (ngerorot); atau dengan cara menculik
seorang gadis yang tidak rela dikawin (melegandang).
Upacara-upacara perkawinan empat tahap ini adalah: Mebiekaon[18],
yang dilakukan di pelataran kompleks perumahan keluarga luas (karang) kemanten laki-laki, dengan
tujuan untuk menyucikan kedua merpati ini setelah melakukan hubungan sex; Meperagat/Mekala-kala, yang diadakan di
pantai danau Batur, yang terletak di muka pekarangan rumah keluarga luas
mempelai laki-laki, dengan maksud untuk membebaskan kedua mempelai dari
pengaruh buruk para buta kala; Bakti
Pesaren, yang diadakan di muk4 pintu gerbang kuil Ratu Sakti Pancering
Jagat, dengan maksud untuk memberitahu kepada dewa tertinggi mereka, bahwa
perkawinan telah berlangsung, dan upacara pernikahan tahap-tahap terakhir mepekandal akan segera dilaksanakan; Mepekandal, adalah upacara yang
dilakukan di pekarangan kuil bagian luar (jaban),
dengan maksud untuk mengesahkan keanggotaan kedua mempelai sebagai anggota
desa adat (krama desa).
C.
Upacara
Kematian dan Pemakaman Suku Trunyan
Upacara kematian di Desa Trunyan
memang sedikit berbeda dengan daerah-daerah pada umumnnya yang terdapat di
Bali. Mayat diletakkan diatas tanah yang arealnya sudah dibatasi dan di areal
tersebut terdapat sebuah pohon besar yang seakan-akan menyegel aroma mayat agar
tak menentuh Indra.[19]
Pohon yang dimaksud adalah pohon taru menyan. Yang mana bahwa itulah cikal
bakal nama Desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang
Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2
macam yaitu:
1.
Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah
udara terbuka yang disebut dengan istilah Mepasah.
Orang-orang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu
matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih
bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2.
Dikubur/ dikebumikan. Orang-orang yang
dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat
mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita
penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar
seperti dibunuh atau bunuuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi
susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal. Desa ini juga memiliki tiga
cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara
dengan upacara Pengabenan. Adapun
cara tersebut adalah sebagai berikut:[20]
§ Jika
yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan
umumnya. Tempat pemakamannya disebut “sema muda”. Untuk jarag diperkirakan 200
meter dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi
mayat akan dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaaan perlakuan
tersebut. Ini hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
Trunyan.
§ Untuk
mereka yang meninggal Karena suatu yang tidak wajar seperti, kecelakaan,
pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat
penguburannya adalah di “sema bantas’’ yang terletak di perbatasan Desa Trunyan
dann Desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
§ Untuk
mereka yang meninggal wajar (normal) dalam artian meninggal Karena faktor usia
(bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan
dipemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih)
kemudian diletakkan dibawah pohon Taru Menyan. Mayat akan diletakkan di atas
tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10-20 cm kemudian di pageri.
Tujuan dileakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidak bergeser mengingat
keadaan tanah yang datar. Di informasikan bahwa batasan mayat yang berada di
bawah pohon Taru hanyalah segelas. Masyarakat setempat mengatakan jika mayat
melebihi sebelas maka mayat akan sedikit berbau (terkadang berbau dan terkadang
tidak).
Untuk
masalah batasan jumlah tersebut, ada pakar yang berpendapat bahwa kemampuan
penyerapan bau Poho Taru adalah 660kg. dengan perhitungan 11X60kg=660,60kg
diasumsikan dari berat rata-rata mayat. Tapi hal itu juga tidak dapat
dipastikan mengingat hal tersebut didasarkan atas mitos. [21]
Upacara
yang berhubungan dengan kematian di Trunyan paling sedikit dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu upacara ngutang
mayit dan ngaben. Kedua upacara
tersebut tidak diadakan bagi semua orang yang telah meninggal, karena untuk
dapat diberi kedua upacara tersebut, bergantung sekali pada kedudukan si
almarhum dalam masyarakatnya, dan cara meninggalnya.
·
Ngutang Mayit
Upacara
ini sebenarnya adalah upacara pemakaman yang sesungguhnya, yang akan diadakan
mula-mula di rumah, dan kemudian dilanjutkan di tempat pemakaman sema wayah (bagi orang yang telah
menikah dan mati wajar), atau di sema
nguda (bagi mereka yang masih bujangan dan mati wajar). Upacara ngutang mayit akan diadakan segera
setelah seorang meninggal dunia. Semua pakaiannya termasuk gigi emasnya dilucuti.
Jenazah itu kemudian ditutupi dengan sehelai kain batik baru, sampai menunggu
kedatangan kerabat-kerabat laki-laki yang akan memandikannya.
·
Kekawin Asta Dedep.
Menurut
adat, orang Trunyan tidak lama-lama menahan jenazah kerabatnya di rumah
mereka, paling lambat hanya disemayamkan di rumahnya selama satu hari satu
malam saja. Karena letak daerah pemakaman Sema
Wayah di pantai danau Batur di luar desa induk Trunyan, maka untuk ke sana
jenazah harus diangkat dengan biduk lesung. Orang yang diperbolehkan mengantar
jenazah hanya kaum laki-laki saja, sedangkan kaum perempuan dilarang.
Hal
ini disebabkan karena di sana ada kepercayaan, bahwa hanya seorang dukun yang
dapat menjadi leyak, atau orang yang
sedang belajar ilmu gaib hitam saja yang berani ke daerah pemakaman. Selama
dalam perjalanan ke makam, jenazah diletakan di atas usungan mayat terbuat
dari bambu yang disebut klakat.
·
Ngaben:
Upacara
ini merupakan upacara kematian tahap kedua, di mana roh si mati dibebaskan
untuk selama-lamanya dari eksistensinya dahulu. Dalam upacara ini sisa-sisa
tubuhnya tidak dibakar melainkan dibiarkan berada di tempat pemakaman. Pada
akhir upacara, di mana diadakan pawai meriah, sebuah pagoda terbuat dari bambu
dan kertas warna-warni tempat membawa boneka-boneka kayu garu, yang mewakili
jenazah si mati, ditenggelamkan ke dalam air danau Batur, di muka Sema Wayah.
D.
Interaksi Kepercayaan
Orang Trunyan
Interaksi antara etnis Bali dengan
etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali dengan etnis sasak sudah
terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak Kerajaan
Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingn dengan masyarkat
Hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari
serbuan kerajaan lainnya di Bali.
Kerjasama tersebut berlanjut sampai
sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayah Desa Pakraman yakni
sebagai bencalang dan jagabaya. Sebagai bencalang umat Hindu dan umat Islam
ikut bergabung menjaga keamanan, bekeliling diwilayah desa dan banjar.[22]
Selain itu antara etnis Bali dan etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi
jual beli di pasar tradisional antar pedagang etnis sasak misalnya (pedagang
sate, cendol, buah, kain tukang jarit dan sebagainya).
Dengan pembeli mayarakat etnis Bali
dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi
juga terjadi pada sesame pedagang Bali an etnis Sasak. Mereka saling memberikan
rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingi membeli
kebutuhan sehari-hari. Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga
menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak
Trunyan yang terpencil dari kehidupn orang Bali pada umumnya, dan bangsa
Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi
perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang
mayoritas dianut oleh masyarakat Bali.
Persentuhan Desa Trunyan dengan
budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut
sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa
kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India, dan Cina, ternyata tidak
berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh
tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki.
Apalagi dewasa ini Bali secara
keseluruhan telah dikenal dimata Internasional menjadi salah satu tujuan
wisata. Dukungan dari pemerintah untuk peristiwa seperti ini yang menyebabkan
tradisi budaya lokak terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertembuhan
pembanguan modern sudah sangat Nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel,
villa, restorant, serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat.
Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan, juga banyak
dibangun meski sepertinya da sangat besar. Pergeseran nilai yang terjadi
seperti pergeseran kehidupan pertanian kesektor pariwisata, namun pelestarian
kebudayaan dan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang.[23]
BAB III
KESIMPULAN
Jadi begitulah asal-usul suku Trunyan
di Bali dengan proses yang sangat panjang mulai dari penamaan sampai menjadi
desa yang cukup luas. Dari asal-usul hingga tradisi, adat dan kebudayaan orang Trunyan
yang menyimpan banyak keunikan didalamnya sehingga masyarakat Trunyan selalu
menjaga dan melestarikannya sampai sekarang makannya suku trunyan masih bisa
kita temukan keberadaannya sampai sekarang.
Juga ada beberapa penggolongan Tempat-tempat
pemakaman orang trunyan dan Upacara Keagamaan yang unik. Dan beberapa Interaksi
Kepercayaan Orang Trunyan dengan agama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
James Danandjaja, Kebudayaan
Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta: penerbit Universitas Indonesia,
1989).
Trisila, Akulturasi
Budaya Islam Hindu di Bali, (Denpasar: Universitas Udayana, 2002).
Junus, M Melalatoa,
Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: CV. Eka Putra, 1995).
James Danandjaja, Upacara-upacara
Lingkaran Hidup di Trunyan, Bali,
(Jakarta: PN.
Balai Pustaka 1985)
http://www.dgspeak.com/mengenal-sejarah-desa-trunyan/,
16 April 2017.
http://wisatabaliutara.com/2014/12/keunikan-desa-trunyan-bali-tentang-pemakaman.html/,
16 April 2017.
[4] M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia, (Jakarta:
CV. Eka Putra, 1995), h.843
[16]James Danandjaja, Upacara-upacara Lingkaran Hidup di Trunyan,
Bali, (Jakarta: PN. Balai Pustaka Jakarta 1985)
[17] James Danandjaja, Upacara-upacara Lingkaran Hidup di Trunyan,
Bali, (Jakarta: PN. Balai Pustaka Jakarta 1985)
[18] James Danandjaja, Upacara-upacara Lingkaran Hidup di Trunyan,
Bali, (Jakarta: PN. Balai Pustaka Jakarta 1985)
Komentar
Posting Komentar